Skip to main content

kelabu

aku ketemu papi tadi siang. dia masih seperti dulu. ada sih yang beda pada penampilannya, tapi yang membuatku begitu nyesak adalah cerita yang dikatakannya.

begitu banyak yang ingin kukatakan pada papi, tapi yang keluar dari kerongkonganku malah tentang mesin faks, kompie dan isu mengenai surat keterangan kelulusan yang palsu milik Wagubsu. hingga kemudian, papi mulai berbicara topik itu. aku mengalihkan pandanganku sekilas ke luar resto fountain tempat kami lunch dan bilang dengan nada yang (diusahakan) santai bahwa aku ga tau tentang yang dia tanyakan.

diapun bercerita dan aku hanya mendengarkan.

dia bicara soal kepercayaan; tentang integritasnya yang kini dipertanyakan banyak orang. aku menatapnya dan sesekali mengaduk es krim yang mulai melumer di gelasku. aku merasakan kegelisahannya meski dia katakan kini dia lebih tenang. dia tidak lagi mempersoalkan apa yang sedang terjadi.

diakhir pembicaraan aku hanya sanggup menanyakan kapan dia akan kembali. dia bilang dia ga tahu pasti.

"papi ga adil meninggalkan kami dalam keadaan seperti ini. setiap orang punya impian dengan tim mana dia bermain. dan impianku adalah aku ingin bermain dalam tim yang ada papinya."

"iya sayang papi mengerti, " papi semakin mengatupkan kedua tangannya dan menghela napas panjang. "tapi kenyataannya inilah yang sedang terjadi. ga ada pilihan."

"ada!" bantahku secepat yang kubisa. dia tertawa. "papi tinggal menyatakan kebenaran itu."
"ga semudah itu." lantas dia bercerita lagi, lagi dan lagi.

diakhir pembicaraan, aku menatapnya (diusahakan) yakin, "jadi kapan papi akan kembali." dan dia hanya tertawa.

siang ini aku ketemu papi. tapi besok, besok dan besoknya lagi aku tidak tahu apa aku bisa ketemu dia. sekeras apapun dia berusaha menyakinkan diriku bahwa dia akan tetap ada untukku, aku tidak yakin apa dia masih menginginkanku sama seperti dulu

Comments

Popular posts from this blog

kangenku melayang

Aku kangen banget hari ini- dengan kamu – pria yang begitu mempesona. Tapi rinduku ga pernah jelas bagimu. Kamu menejermahkannya dengan candaan tetapi aku mengartikannya sebagai penolakan. Rinduku ga pernah penting untukmu. Sesaat aku menyesal mencintaimu. Tetapi aku terlanjur mencintaimu dan aku ga akan pernah mencabutnya kembali. Aku terlalu mencintaimu. Akh..andai waktu bisa terulang. Andai jarak bisa ditiadakan… Jangan bilang aku kekanakan. Jangan bilang aku tidak mengerti dengan yang kukatakan. Bahasaku sederhana – aku hanya ingin berada disisimu.

Sedikit curhat ama seorang novie..

Kalo kamu...cowo impian kamu kaya gimana nov? Kalo gw...yang pasti dia seorang wanita (hehehe...iyalah)...tunggu belon selesai...dia seorang wanita yang cantik. Terus, dia harus punya suara yang bagus. Dan, gw suka cewe yang bisa maen piano, well ga terlalu jago gpp...yang penting suaranya aja harus bagus. Cewe yang manja, tapi juga bisa ambil keputusan untuk hal-hal yang penting. Yang bisa mengasihi gw apa adanya. Typicall working woman, supaya bisa menghargai sebuah jerih payah dalam mencari uang. Susah kalo punya cewe yang nantinya cuma nongkrong di rumah doang...biasanya sih jadi cewewet and cemburuan banget. Dan...cinta Tuhan. HUaaaaaaaaaaah ada ga ya wanita seperti itu ?????

Cara melupakan Kenangan Pahit

Kenangan pahit tidak perlu dipaksa dilupakan. Biarkan saja dia mengendap dengan sendirinya. Aku yakin waktu bisa membuat kenangan itu terlupakan. Dan inilah yang kualami. Aku perlu waktu yang lama untuk bisa melupakan kenangan itu. Awalnya pengen buru-buru menghapusnya dan menguburnya namun aku memilih proses waktu yang melakukannya. Malam ini aku menguji coba lagi apakah kenangan itu masih terasa pahit dan sakit saat aku melihat wajah itu. Puji Tuhan ternyata tidak. Aku melihatnya sama seperti jika aku melihat wajah orang lain. Memang kenangan itu masih ada tapi tidak lagi menimbulkan rasa nyeri seperti yang kurasakan untuk pertama kali pada 4 tahun silam. Kenangan yang pahit hanya bisa merubah ketika kita secara berani membiarkan hati kita melakukan recovery secara berlahan dan tidak dipaksakan. Artinya memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aku pun melakukannnya dengan sangat berlahan. Pertama memberikan diriku kesempatan untuk menangis. Kedua ...