Skip to main content

Thank God, mama sehat

Mama ingin sekali bermenantu. Tapi dia tidak secerewet dulu menyuruh untuk menikah atau yah setidaknya bertanya siapa yang kini mendekatiku.

Mama sekarang lebih manis. Dia tidak begitu sering lagi membicarakan soal si anu yang bakal menikah, kehebohan apa yang sedang dialami keluarga yang bakal menikah and so on. Mama yang ini lebih kalem.

Mama banyak berubah. Mama bilang dia sudah siap untuk segalanya.

Aku tahu yang mama maksud. Aku juga sama siapnya. Aku pikir memang sudah waktunya. Hanya aku sedih membayangkan nggak ada mama saat hari bahagia itu tiba.

Suatu hari – saat mama dalam titik paling gelap dalam hidupnya – aku menghadap DIA sang pemilik kehidupanku. Waktu itu aku katakan pada DIA, “Baiklah Tuhan, terserah Kau saja. Aku nyerah. Kalau Tuhan mau ambil mama, silahkan saja. Tapi tidak dalam keadaan dia sakit. Ambilah dia saat dia sehat. Aku tidak ingin seumur hidupnya semua orang melihat mama sebagai pesakitan. Aku ingin mama dan orang-orang yang mengenal keluarga kami punya kenangan bahwa mama pernah sehat; bahwa pada sisa hidup mama menjelang ajalnya dia justru sehat.”

Dan entah karena alasan doa itu atau memang sudah waktunya saja sembuh, mama mendadak sehat. Ajaib.

Aku nggak pernah lagi menghadap DIA untuk membicarakan mama. Ingin sih minta agar mama sempat melihatku menikah sebelum dia pergi. Tapi aku pikir aku nggak boleh egois. Aku pikir DIA sang pemilik kehidupanku tahu yang terbaik buatku dan mama.


Aku belum pernah membahagiakan mama. Aku bahkan lebih sering membuatnya kecewa dan menangis. Aku bukan anak yang baik bagi mama. Aku bahkan seakan terlahir untuk membuat mama repot dan cemas.

Mama dan aku seperti dua kutub yang berbeda. Apa yang tidak mama suka, justru itu yang kusuka. Apa yang mama kuatirkan justru itu yang terjadi dalam hidupku.

Sampai kini mama nggak pernah bangga dengan pekerjaanku sebagai wartawan. Sampai kini mama tetap aja mendorongku cari kerja kantoran yang membuatku bisa pakai rok dan tampil seperti perempuan kantoran pada umumnya dengan sepatu hak tinggi, tas wanita dengan motif bunga2 (kali). Tapi aku ini – anak perempuannya satu2nya – justru setiap hari memakai jins, kaos, sepatu sport kadang sandal gunung dan membawa tas ransel hitam berat berisi perlengkapan yang nggak jelas.

Dan bagaimana mama tetap bisa bertahan menghadapiku, bagaimana mama tetap sayang dan mengasihiku, itu tetap menjadi rahasia yang hanya mama yang tahu. Aku pernah menanyakannya, mengapa dia betah punya anak kayak aku.

“Karena kau anakku, “Sesederhana itu jawabannya tanpa penjelasan apapun.

Aku tidak selalu mencintai mama. Terkadang aku membencinya dan berharap punya mama yang lain. Tapi aku nggak pernah benar2 membencinya karena kasih mama telah teruji dengan segala kenakalanku.

Mama adalah orang yang pertama kali kuatir jika aku batuk. Mama adalah orang yang pertama kali terbangun jika aku mimpi buruk. Mama adalah orang yang bersedia menyuapiku makan kalo aku nggak punya waktu untuk sarapan karena harus jadi produser pagi diradio. Dia akan menyuapiku seraya aku memakai kemeja dengan terburu2. Mama juga orang yang bersedia bangun dari tidurnya yang nyenyak hanya untuk menghidupkan anti nyamuk atau mematikan kipas angin supaya esoknya perutku nggak kembung. Dan meski usiaku hampir kepala tiga, pulang dari partangiangan (red: pertemuan agama) mama masih saja membawa pulang lapet, mie atau apalah; berbungkus plastik atau digemgamnya begitu saja ditangan untuk diberikan kepadaku.

“Kau kan anakku,” ujar mama saat kubilang nggak usah lagi bawa makanan remeh temeh itu. Awalnya aku nggak nyambung dengan perkataan mama sampai kemudian aku menyadari bahwa mama bahagia kalo masih bisa melakukannya. Seberapapun umurku tampaknya aku tetaplah putri kecilnya yang selalu dengan tak sabar, mata berbinar mengharap mama pulang bawa makanan. Yah seperti dulu.

Akh mama, begitu banyak hal yang ingin kutuliskan. Tapi jika pun aku menuliskannya masih banyak lagi kebaikanmu yang terlewat oleh panca indraku.









Comments

Popular posts from this blog

6 bulan di LBI UI

Tadi usai nulis blog aku terkapar lagi. Demamnya kembali hikss..Sedih juga sih sakit di negeri yang jauh. Oh ya aku ingin cerita juga kelanjutan setelah kelulusanku itu. Setelah lulus aku berangkat ke Jakarta untuk mengikuti pembekalan bahasa Inggris selama 6 bulan. Di LBI UI bersama 49 peserta lainnya kami kembali ke layaknya anak sekolah masuk jam 9 dan pulang jam 3 sore. Memang sangat melelahkan tapi juga juga menyenangkan. Disana pula aku bertemu dengan beberapa orang yang istimewa yakni Mijon dan Budi yang kemudian menjadi mentor grammar, Indah yang selalu ada untuk memeriksa academic writingku dan mencari data baru tentang kampus yang kutuju, serta Dolphin- seorang sahabat yang membuatku selalu bersyukur dengan apa yang kumiliki. Aku memang dekat dengan hampir seluruhnya tapi mereka yang kusebutkan tadi punya andil besar hingga aku sampai sekolah ke Inggris ini. Mereka membuktikan dirinya selalu ada saat aku memerlukan mereka. Aku masih saja bepikir mereka dipilih karna Tuhan ta

Semua dimulai dengan mimpi

Mimpi menjadi hal yang penting dalam hidupku. Peristiwa-peristiwa penting dalam hidupku semuanya dimulai dengan mimpi. Sebagai anak Ayah (red: Tuhan Yesus Kristus), aku percaya tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Semuanya telah ditetapkan sejak dunia belum dijadikan (Ini yang kitab perjanjian lama katakan lho). Sejak aku mengalami masa traumatis karena ditinggalkan tunanganku tahun 2007, aku mengalami masa yang sukar. Aku jatuh bangun untuk kembali tegak dan menjadi Novita sebelum kejadian itu. Dan itu tidak mudah. Perlu waktu bertahun-tahun bahkan hingga sekarang untuk terus disadarkan betapa kejadian itu hanyalah bagian yang seharusnya membuatku tersenyum karena justru dalam keadaan sukar itu aku bisa melihat kemurahan dan kesetianNya mengalir. Suatu hari seperti biasa aku membaca koran kompas di ruang tamu tempat aku bekerja sebagai wartawan radio. Disitu ada iklan beasiswa tentang FORD FOUNDATION. Iklan itu menarik dan aku beberapa kali telah pernah dikirimi website oleh teman

Pria di Seven Sisters

Pria itu manis. Sangat manis malah. Kadang bingung sendiri kenapa pria semanis dia rela saja tersenyum meski aku mengacuhkannya sedemikian rupa. Kemarin aku melihatnya duduk dua baris di depanku dan ketika dia menoleh seperti mencari seseorang, cepat-cepat aku mengambil buku dan pura-pura membacanya. Sayangnya buku sialan itu terbalik hahahaha..Mati mengenaskan!! Dia tersenyum dan bola matanya berpijar mentertwakan kebodohanku. Sialan! Pria itu memang belakangan kayak bayanganku saja, dia ada dimana-mana. Waktu aku ke Falmer Market di Lewes, dia juga ada disana- tersenyum dengan lebarnya melihatku. Aku terpaksa berhenti karena dia langsung menyediakan sebuah bangku, tapi aku memilih berdiri. Dia bertanya ini itu; semua hal yang pribadi. Aku menjawab berputar-enggan membagi hidupku bersamanya. Aku melihat ditangannya dia memegang dua botol yogurt,"Kamu suka yogurt juga ternyata," "Yah, sama denganmu kan ?" Sebenarnya kaget dia tau aku beli yogurt dan den