Skip to main content

Mengampuni untuk diampuni

Hari ini aku bertemu denganMu Ayah. Suatu pertemuan yang tidak kusangka karena terus terang saja aku sedang terburu-buru untuk mengantar temanku ke stasiun kereta.  Jadi meski aku memasuki rumahMu, aku tidak mempersiapkan diri untuk bertemu denganMu. Aku pikir, aku hanya ingin mampir saja - mengisi daftar hadir, kalau bisa dibilang begitu.

Jadi aku duduk di kursi belakang dihalangin dua buah tempok dan kumpulan kepala manusia yang berwarna hitam. Posisi yang sempurna, pikirku. Namun ketika lagu itu mengalun-lagu yang aku nggak tahu judul dan liriknya-, aku mulai berpikir, "It's good. " Aku mulai mengikuti liriknya dan entah kenapa air mataku mulai turun. Oh NO! Aku nggak boleh menangis. Bukankah hari ini aku memakai maskara dan aku tidak yakin apakah itu waterproof. Jadi, aku menahannya dengan melirik ke kanan dan kiri dan mulai menghitung berapa orang yang datang dengan pasangannya (Oh yeah, aku tahu ini tak ada hubungannya, tapi setidaknya ini bisa mengalihkan perasaanku).

Lantas, pria itu datang melangkah mantap ke mimbar. Oh, mengapa suaranya begitu keras. Oh, aku tidak suka suaranya. Sepertinya ini akan menjadi khotbah yang panjang dan membosankan. Belum apa-apa aku menguap. Jadi, alih-alih berusaha konsentrasi menyambut Firman Tuhan, aku membuka warta jemaat. 

Aku memang tidak memperhatikan apa yang dikatakan pria itu sejak awal. Namun aku mendadak ingat satu hal kalau aku butuh nama domain buat website baruku. Aku ingin memiliki nama domain dari bahasa Ibrani, jadi aku putuskan untuk berkonsentrasi dengan apa yang pria itu katakan. 

Pria itu membagikan kisah hidup Ishak yang tinggal di Gerar, di wilayah Filistin yang sedang dilanda kelaparan. Ishak tinggal di Gerar karena Tuhan menyuruhnya demikian, meski tentu saja dia memiliki kehendak bebas untuk pergi ke Mesir yang ketika itu sedang berkelimpahan. Ishak kemudian membangun sumur untuk mendapatkan air bagi pertaniannya, namun ketika sumur itu mengeluarkan air, orang Filistin merebutnya dan menendangnya keluar dari tanah itu. Lantas, Ishak membangun sumur kedua, dan lagi-lagi setelah sumur itu jadi, Ishak diusir keluar. Ishak juga mengalaminya ketika dia membangun sumur ketiga. Baru sumur keempatlah, Ishak kemudian bisa memiliki sumur yang diusahakannya itu. Dan sumur itu melebihi sumur lainnya.

Eh, tunggu dulu, mengapa Ishak tidak mempertahankan haknya? Mengapa Ishak rela melepaskan apa yang telah diupayakannya susah payah dengan begitu mudahnya ke orang lain? 

"Kalau saya jadi Ishak, mungkin saya akan mempertahankan sumur itu." lanjut pria itu. "Kalau saya jadi Ishak mungkin saya akan berkelahi untuk mempertahankannya. Tapi Ishak berbeda. Ishak, orang yang dekat dengan Tuhan itu memiliki respon yang benar ketika masalah datang. Dia tidak benci kepada mereka. Dia melepaskannya karena Ishak tahu kemanapun dia pergi, dia akan diberkati Tuhan."

Aku terdiam mendengar penjelasan pria itu Ayah. Aku jadi teringat hari-hari menjelang pernikahanku 6 Juli yang lalu. Samar-samar aku mulai mengingat bagian aku mengusap air mata bapak dan memeluknya erat-erat. Kau tau kan Ayah momen itu ? Waktu itu bapak menangis karena tidak seorangpun keluarga terdekat, datang membantu. Bahkan di hari pernikahanku tak seorang keluarga dekatpun datang ke rumah. Alangkah sepinya rumah dihari pernikahan putrimu Ayah. Lantas, aku mengusap air mata bapak dan kutegakkan kepalanya dan kukatakan. "Semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja. Kita tidak memerlukan mereka."

Dan memang pernikahan itu berlangsung dengan meriah Ayah. Aku menari, aku tertawa dan aku sangat bahagia. Ketika mereka-keluarga besar itu datang- aku masih bisa tersenyum dengan lebar dalam bingkai frame yang kutahu diambil tiga kali.

Tapi Ayah, hari ini- tanggal 6 Oktober- (tepat 3 bulan setelah pernikahanku) Kau menyingkapkan satu hal padaku; sesuatu yang tidak aku sadari tapi ada. 

"Lepaskan Vita. Ampuni mereka." Itu yang Kau katakan.

Oh Ayah, aku sungguh tidak mau berdalih denganMu. Sungguh, aku tidak ingin menyimpan 'sampah' yang suatu kali akan membuat hidupku menjadi bau. Jadi, hari ini ketika pria itu berdoa usai khotbah, aku membereskan semuanya. Aku mengampuni mereka. Aku melakukannya bukan untuk mereka, bukankah begitu Ayah? Aku melakukannya untukku karena sedemikian aku mengampuni mereka, demikian juga aku memperoleh pengampunan dariMu.

Salam cinta penuh kasih


Vita

Comments

Popular posts from this blog

kangenku melayang

Aku kangen banget hari ini- dengan kamu – pria yang begitu mempesona. Tapi rinduku ga pernah jelas bagimu. Kamu menejermahkannya dengan candaan tetapi aku mengartikannya sebagai penolakan. Rinduku ga pernah penting untukmu. Sesaat aku menyesal mencintaimu. Tetapi aku terlanjur mencintaimu dan aku ga akan pernah mencabutnya kembali. Aku terlalu mencintaimu. Akh..andai waktu bisa terulang. Andai jarak bisa ditiadakan… Jangan bilang aku kekanakan. Jangan bilang aku tidak mengerti dengan yang kukatakan. Bahasaku sederhana – aku hanya ingin berada disisimu.

Sedikit curhat ama seorang novie..

Kalo kamu...cowo impian kamu kaya gimana nov? Kalo gw...yang pasti dia seorang wanita (hehehe...iyalah)...tunggu belon selesai...dia seorang wanita yang cantik. Terus, dia harus punya suara yang bagus. Dan, gw suka cewe yang bisa maen piano, well ga terlalu jago gpp...yang penting suaranya aja harus bagus. Cewe yang manja, tapi juga bisa ambil keputusan untuk hal-hal yang penting. Yang bisa mengasihi gw apa adanya. Typicall working woman, supaya bisa menghargai sebuah jerih payah dalam mencari uang. Susah kalo punya cewe yang nantinya cuma nongkrong di rumah doang...biasanya sih jadi cewewet and cemburuan banget. Dan...cinta Tuhan. HUaaaaaaaaaaah ada ga ya wanita seperti itu ?????

Cara melupakan Kenangan Pahit

Kenangan pahit tidak perlu dipaksa dilupakan. Biarkan saja dia mengendap dengan sendirinya. Aku yakin waktu bisa membuat kenangan itu terlupakan. Dan inilah yang kualami. Aku perlu waktu yang lama untuk bisa melupakan kenangan itu. Awalnya pengen buru-buru menghapusnya dan menguburnya namun aku memilih proses waktu yang melakukannya. Malam ini aku menguji coba lagi apakah kenangan itu masih terasa pahit dan sakit saat aku melihat wajah itu. Puji Tuhan ternyata tidak. Aku melihatnya sama seperti jika aku melihat wajah orang lain. Memang kenangan itu masih ada tapi tidak lagi menimbulkan rasa nyeri seperti yang kurasakan untuk pertama kali pada 4 tahun silam. Kenangan yang pahit hanya bisa merubah ketika kita secara berani membiarkan hati kita melakukan recovery secara berlahan dan tidak dipaksakan. Artinya memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aku pun melakukannnya dengan sangat berlahan. Pertama memberikan diriku kesempatan untuk menangis. Kedua ...