Skip to main content

Mereka menyebutku anak tunggal


Mereka menyebutku anak tunggal; anak sasada kata orang Batak.  Sebutan tunggal yang bermakna satu  tidak serta merta menjadikan aku central dalam kehidupan orang tuaku. Justru aku harus rela berbagi banyak hal dengan mereka yang disebut orang tuaku sebagai saudara sedarah. Suatu kerelaan yang kupelajari dari kitab yang bernama paksaan karena aku dipaksa untuk rela oleh keadaanku sebagai anak tunggal. Aku menyebutnya penjajahan.

Suatu kali diruang belajar di LBI UI 2 tahun yang lalu, seorang guru writing bermana Miss Memy membawa sebuah artikel tentang bagaimana beratnya beban ekonomi membuat banyak orang tua muda terpaksa memilih hanya bisa memiliki anak satu orang saja. Lantas Miss Memmy bilang,  “ Ini cukup menarik dan aku ingin tahu apa pendapatmu soal ini Vita.”

Artikel itu diserahkan kepadaku dan harus kujadikan tulisan baru sebagai peer kelas writingku masa itu. Dan tulisan itu tidak pernah ada.


Usai aku menerima artikel itu, aku menimangnya baik-baik. Aku terusik dengan isi artikel itu karena bagiku, andai kata boleh memilih, tidak sudi aku dilahirkan tunggal. Jadi aku ingin memberikan komentar yang pas, sebuah tulisan argumentative yang bagus mengapa aku  mengatakannya begitu.  Sayangnya, belum sempat kutulis, aku sudah disibukkan dengan persiapan keberangkatanku ke Inggris untuk kuliah S2 disana. Dan aku membawa artikel itu serta. Sebulan berada disana bergelut dengan kulitku yang mengering dan bersisik akibat perpindahan ekstrim dari tropis ke negara dingin, aku menulis pesan singkat pada Miss Memmy bahwa aku utang sebuah tulisan dan aku akan membayarnya. Dia merespon, “Tidak apa apa Vita, saya tahu kamu pasti sibuk dengan sekolahmu yang baru.”

Dan Miss Memy benar. 17 bulan disana dan 9 bulan usai tiba kembali di Indonesia, tulisan itu tidak pernah ada.


Hari ini, aku menemukan kesadaran penuh kenapa tulisan itu tidak pernah ada. Jawabannya karena aku tahu dengan menulisnya aku membangkitkan kenangan-kenangan yang menyakitkan sebagai anak tunggal. Kenangan-kenangan yang ingin kuenyahkan namun yang selalu saja kemudian kusadari justru telah membentukku menjadi Novita yang sekarang. Jadi, hari itu – hari dimana aku bisa duduk dan menulis tulisan itu tidak akan pernah ada, kecuali aku siap.

Faktanya, aku tidak akan pernah siap.


- Dan burung kecil kini menemukan pasangannya yang akan membuatnya memiliki kawanan baru -

Comments

Popular posts from this blog

kangenku melayang

Aku kangen banget hari ini- dengan kamu – pria yang begitu mempesona. Tapi rinduku ga pernah jelas bagimu. Kamu menejermahkannya dengan candaan tetapi aku mengartikannya sebagai penolakan. Rinduku ga pernah penting untukmu. Sesaat aku menyesal mencintaimu. Tetapi aku terlanjur mencintaimu dan aku ga akan pernah mencabutnya kembali. Aku terlalu mencintaimu. Akh..andai waktu bisa terulang. Andai jarak bisa ditiadakan… Jangan bilang aku kekanakan. Jangan bilang aku tidak mengerti dengan yang kukatakan. Bahasaku sederhana – aku hanya ingin berada disisimu.

Sedikit curhat ama seorang novie..

Kalo kamu...cowo impian kamu kaya gimana nov? Kalo gw...yang pasti dia seorang wanita (hehehe...iyalah)...tunggu belon selesai...dia seorang wanita yang cantik. Terus, dia harus punya suara yang bagus. Dan, gw suka cewe yang bisa maen piano, well ga terlalu jago gpp...yang penting suaranya aja harus bagus. Cewe yang manja, tapi juga bisa ambil keputusan untuk hal-hal yang penting. Yang bisa mengasihi gw apa adanya. Typicall working woman, supaya bisa menghargai sebuah jerih payah dalam mencari uang. Susah kalo punya cewe yang nantinya cuma nongkrong di rumah doang...biasanya sih jadi cewewet and cemburuan banget. Dan...cinta Tuhan. HUaaaaaaaaaaah ada ga ya wanita seperti itu ?????

Cara melupakan Kenangan Pahit

Kenangan pahit tidak perlu dipaksa dilupakan. Biarkan saja dia mengendap dengan sendirinya. Aku yakin waktu bisa membuat kenangan itu terlupakan. Dan inilah yang kualami. Aku perlu waktu yang lama untuk bisa melupakan kenangan itu. Awalnya pengen buru-buru menghapusnya dan menguburnya namun aku memilih proses waktu yang melakukannya. Malam ini aku menguji coba lagi apakah kenangan itu masih terasa pahit dan sakit saat aku melihat wajah itu. Puji Tuhan ternyata tidak. Aku melihatnya sama seperti jika aku melihat wajah orang lain. Memang kenangan itu masih ada tapi tidak lagi menimbulkan rasa nyeri seperti yang kurasakan untuk pertama kali pada 4 tahun silam. Kenangan yang pahit hanya bisa merubah ketika kita secara berani membiarkan hati kita melakukan recovery secara berlahan dan tidak dipaksakan. Artinya memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aku pun melakukannnya dengan sangat berlahan. Pertama memberikan diriku kesempatan untuk menangis. Kedua ...