Skip to main content

Raimondone

Raimondone, wartawan majalah Itali nyampe ke Medan Rabu malam. Tapi pagi ini dia terpaksa pulang ke Kota Bangkok-Thailand (Pos liputannya adalah Asia. Jadi dia berdiam di Bangkok). Alasannya karena kantornya memutuskan untuk membatalkan keberangkatannya ke Nias.

Aku mencoba mencari tau alasan sebenarnya. Dia bilang itu karena pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan bencana nias adalah bencana lokal. Temanku yang lain lantas bertanya berapa korban yang diperlukan untuk dapat dikategorikan bencana nasional. aku hanya terdiam. aku ga tau. aku malah melihat bencana Nias adalah bencana internasional. Toh yang mengalaminya juga banyak seperti India, Srilanka dan bahkan Thailand. Tapi Niaslah yang terparah. Kalo karna hitungan korban jiwa yang lebih sedikit dibanding Aceh, apakah kita tidak dapat mengatakan itu karena faktor keberuntungan. Coba bayangkan 8,7 skala richter. Aku pikir hanya orang-orang yang beruntung saja yang bisa lolos darinya. Tapi lagi-lagi aku cuma bisa belajar untuk mempercayai SBY tau yang terbaik untuk bangsa ini.

Di akhir pembicaraan via telepon, Raimondone mengatakan terima kasihnya karena aku membantunya mencari informasi via telpon ke Nias dan Sibolga. Jelas aku merasa tidak berjasa. Aku melakukannya karena bagiku perhatian majalahnya atas nasib rakyatku jauh lebih berharga. Membantu untuk mendapatkan perhatian internasional.Lantas dia mengundangku ke Bangkok dengan sangat ramah dan diakhir pembicaraannya dia mengatakan bolehkah dia menciumku sebagai salam perpisahan. 2 detik kebingungan menyergapku. Tapi akhirnya aku mengiyakan juga. Toh itu hanyalah salam perpisahan ala orang bule. Begitu kubilang ya, bukan hanya satu kiss yang kuperoleh tapi berkali-kali. sumpe tiba2 aku merasakan perutku bergolak dasyat mau muntah ohhhhhhhhhhhhh tidakkkkkkkkkkkkkkkkk!!!!

Comments

Popular posts from this blog

kangenku melayang

Aku kangen banget hari ini- dengan kamu – pria yang begitu mempesona. Tapi rinduku ga pernah jelas bagimu. Kamu menejermahkannya dengan candaan tetapi aku mengartikannya sebagai penolakan. Rinduku ga pernah penting untukmu. Sesaat aku menyesal mencintaimu. Tetapi aku terlanjur mencintaimu dan aku ga akan pernah mencabutnya kembali. Aku terlalu mencintaimu. Akh..andai waktu bisa terulang. Andai jarak bisa ditiadakan… Jangan bilang aku kekanakan. Jangan bilang aku tidak mengerti dengan yang kukatakan. Bahasaku sederhana – aku hanya ingin berada disisimu.

Sedikit curhat ama seorang novie..

Kalo kamu...cowo impian kamu kaya gimana nov? Kalo gw...yang pasti dia seorang wanita (hehehe...iyalah)...tunggu belon selesai...dia seorang wanita yang cantik. Terus, dia harus punya suara yang bagus. Dan, gw suka cewe yang bisa maen piano, well ga terlalu jago gpp...yang penting suaranya aja harus bagus. Cewe yang manja, tapi juga bisa ambil keputusan untuk hal-hal yang penting. Yang bisa mengasihi gw apa adanya. Typicall working woman, supaya bisa menghargai sebuah jerih payah dalam mencari uang. Susah kalo punya cewe yang nantinya cuma nongkrong di rumah doang...biasanya sih jadi cewewet and cemburuan banget. Dan...cinta Tuhan. HUaaaaaaaaaaah ada ga ya wanita seperti itu ?????

Cara melupakan Kenangan Pahit

Kenangan pahit tidak perlu dipaksa dilupakan. Biarkan saja dia mengendap dengan sendirinya. Aku yakin waktu bisa membuat kenangan itu terlupakan. Dan inilah yang kualami. Aku perlu waktu yang lama untuk bisa melupakan kenangan itu. Awalnya pengen buru-buru menghapusnya dan menguburnya namun aku memilih proses waktu yang melakukannya. Malam ini aku menguji coba lagi apakah kenangan itu masih terasa pahit dan sakit saat aku melihat wajah itu. Puji Tuhan ternyata tidak. Aku melihatnya sama seperti jika aku melihat wajah orang lain. Memang kenangan itu masih ada tapi tidak lagi menimbulkan rasa nyeri seperti yang kurasakan untuk pertama kali pada 4 tahun silam. Kenangan yang pahit hanya bisa merubah ketika kita secara berani membiarkan hati kita melakukan recovery secara berlahan dan tidak dipaksakan. Artinya memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aku pun melakukannnya dengan sangat berlahan. Pertama memberikan diriku kesempatan untuk menangis. Kedua ...