Aku punya banyak momen dalam hidup ini. Momen-momen yang membuatku tertawa lepas hingga yang momen yang membuatku menangis berdarah. Namun momen yang kualami kemarin malam adalah momen yang tak kukenali.
Awalnya aku tidak ingin menceritakannya. Tidak pernah. Bukan karena aku tak ingin terbuka, bukan pula karena menganggap dia tak ada. Aku hanya tak ingin dia pergi setelah melihat sisiku yang lain. Sisi yang tercabik-cabik, penuh luka, bernanah dan terperban oleh rasa perih bernama belajar memahami dan memaafkan.
Tapi kemarin malam aku menceritakannya. Aku memulai dengan kalimat-kalimat yang melesat tak berguna. Menembus tembok-tembok yang dingin dan kembali ke jiwaku yang sakit. Aku memang kemudian mengatakannya, tapi tak berani menatapnya. Seperti linglung aku terus saja bicara soal masa kecilku, remajaku dan diriku yang sekarang ini. Dan sekali lagi aku tak berani menatapnya.
"Emang sakit apa yang dulu ?" tanyanya.
Pikiranku tercampak di ruangan itu. Ruangan yang mendudukkan aku sebagai terdakwa. Belasan pasang mata dokter muda itu menatap penuh selidik. Ingin aku berlari pulang dan menguburkan diriku hidup-hidup kedalam lobang sumur yang masih ada di dapur rumah, tapi aku berdiri tegak menjawab semua pertanyaan brengsek itu dengan gagah. Tentu saja aku tak mengizinkan mereka menang atas perkara ini. Tidak!!
"Jadi, ibu ini sakit karena anak perempuannya itu," begitu kesimpulan ketua rombongan para dokter muda itu.
Benarkah ?
--------------------------------------------------------------------------------
Aku tidak tahu apakah ceritaku kemudian membuatnya berpikir untuk tetap bersamaku atau malah meninggalkanku. JIwaku kosong saat ini. Jujur, aku tidak terlalu berharap banyak agar dia bertahan karena seandainya bisa memilih, aku tidak sudi menjalani kisah hidup seperti ini. Aku paham seandainya dia memilih pergi meski untuk itu aku harus membayarnya dengan tangisan.
Awalnya aku tidak ingin menceritakannya. Tidak pernah. Bukan karena aku tak ingin terbuka, bukan pula karena menganggap dia tak ada. Aku hanya tak ingin dia pergi setelah melihat sisiku yang lain. Sisi yang tercabik-cabik, penuh luka, bernanah dan terperban oleh rasa perih bernama belajar memahami dan memaafkan.
Tapi kemarin malam aku menceritakannya. Aku memulai dengan kalimat-kalimat yang melesat tak berguna. Menembus tembok-tembok yang dingin dan kembali ke jiwaku yang sakit. Aku memang kemudian mengatakannya, tapi tak berani menatapnya. Seperti linglung aku terus saja bicara soal masa kecilku, remajaku dan diriku yang sekarang ini. Dan sekali lagi aku tak berani menatapnya.
"Emang sakit apa yang dulu ?" tanyanya.
Pikiranku tercampak di ruangan itu. Ruangan yang mendudukkan aku sebagai terdakwa. Belasan pasang mata dokter muda itu menatap penuh selidik. Ingin aku berlari pulang dan menguburkan diriku hidup-hidup kedalam lobang sumur yang masih ada di dapur rumah, tapi aku berdiri tegak menjawab semua pertanyaan brengsek itu dengan gagah. Tentu saja aku tak mengizinkan mereka menang atas perkara ini. Tidak!!
"Jadi, ibu ini sakit karena anak perempuannya itu," begitu kesimpulan ketua rombongan para dokter muda itu.
Benarkah ?
--------------------------------------------------------------------------------
Aku tidak tahu apakah ceritaku kemudian membuatnya berpikir untuk tetap bersamaku atau malah meninggalkanku. JIwaku kosong saat ini. Jujur, aku tidak terlalu berharap banyak agar dia bertahan karena seandainya bisa memilih, aku tidak sudi menjalani kisah hidup seperti ini. Aku paham seandainya dia memilih pergi meski untuk itu aku harus membayarnya dengan tangisan.
Comments