Kau masih belon tidur juga ? Masih menunggu cerita yang baru di up load? Aih...maaf membuatmu lama menunggu.
Aku ingin cerita padamu soal pertemuanku dengan salah satu teman lamaku. Aku bertemu dengannya di UI Salemba jam 7 malam tadi. Aku bela belain datang meski peer menumpuk. Sebenarnya aku sudah tau kalau dia akan cerita soal rencana pernikahannya, tapi kupikir ga rugi untuk mendengarnya meski bagiku basi banget menasehatinya karena dia adalah perempuan pintar yang tau betul yang dia tuju.
Kenapa yah menikah itu menjadi keputusan yang sulit ketika ada yang benar2 mengajak kita menikah ? Seperti aku dulu waktu dia-tunanganku-mengajak segera menikah tahun 2006 lalu. Tiba2 aku disergap rasa takut berlebihan. Takut semua mimpi2 besarku tercabut tak tersisa, takut kalau kemudian aku menguap, hilang dan muncul hanya sebagai nyonya Siahaan..bah!
dan ketika aku mendengar ceritanya malam ini, aku seperti melihat diriku 4 tahun silam. Jelas, aku tidak ingin dia mengulangi kesalahanku yang lampau, makanya mati-matian aku tegaskan agar dia menikah saja.
"Bagaimana jika kau mendapatkan semua mimpimu tapi ketika itu pula, tidak ada lagi dia yang sangat menginginkanmu ???" tanyaku.
Usia memang membuat orang makin dewasa, sama seperti cara berpikirku sekarang yang lebih sederhana. Dulu aku berpikir hanya akan menikah dengan orang yang kucinta, tapi kini aku tidak terlalu menempatkan cinta sebagai prioritas. Bagiku yang penting, aku nyaman dengannya.
Rick Warren dalam Purpose Driven dengan tegas mematahkan pandangan orang Kristen yang mengatakan, keputusan terpenting setelah terima Tuhan Yesus adalah menikah, Rick justru mengatakan, menikah itu adalah pilihan kita sendiri, nggap perlu terlalu didramatisir dengan doa puasa hingga minta tanda atau nubuatan. Itu hanya sekedar pilihan tok!
Jadi, pilihanku adalah menikah dengan dia yang mampu membuatku nyaman.
Pertanyaannya siapa ?
Nah pertanyaan ini sedikit terjawab dari diskusi kecil di dapur LBI UI dengan kak Yusran.
"Jangan tanya siapa, kau tinggal bayangkan saja bagaimana ciri-cirinya. Biasanya akan terjadi seperti itu,"
Aku jelas tertawa, karena tentu saja aku punya bayangan ciri-ciri pria yang ingin kupanggil suamiku...hanya saja, aku tak tau pasti apakah dia ada atau tidak. Aku takut dia hanya ada di imajinasiku.
Setahun lalu, ketika ibu terus mendesak agar aku menikah dengan pria yang secara langsung datang ke rumah untuk lamaran - di tengah prosesi pra lamaran itu - aku berimajinasi tentang pria imaginer itu. Bahkan ketika pada akhirnya aku menolak lamaran pria itu, dan menimbulkan petaka - aku memilih masuk ke kamar dan melanjutkan imajinasiku dipojok kamar. Dia itu nyata ga sih ?
Tiap pagi aku seperti merapal mantra dari yang tidak ada menjadi ada - mazmur 128 - aku berharap dia ada.
Balik soal rencana pernikahan...
Aku tidak mau terlalu muluk-muluk soal ini. Aku hanya berdoa tahun depan aku sudah menikah. Mungkin memang tidak perlu cinta, cukup hanya pengertian dan kesabaran saja untuk memulainya. Jikapun kemudian aku menikah dengan orang yang kucintai, kuanggap saja itu bonus..
Aku ingin cerita padamu soal pertemuanku dengan salah satu teman lamaku. Aku bertemu dengannya di UI Salemba jam 7 malam tadi. Aku bela belain datang meski peer menumpuk. Sebenarnya aku sudah tau kalau dia akan cerita soal rencana pernikahannya, tapi kupikir ga rugi untuk mendengarnya meski bagiku basi banget menasehatinya karena dia adalah perempuan pintar yang tau betul yang dia tuju.
Kenapa yah menikah itu menjadi keputusan yang sulit ketika ada yang benar2 mengajak kita menikah ? Seperti aku dulu waktu dia-tunanganku-mengajak segera menikah tahun 2006 lalu. Tiba2 aku disergap rasa takut berlebihan. Takut semua mimpi2 besarku tercabut tak tersisa, takut kalau kemudian aku menguap, hilang dan muncul hanya sebagai nyonya Siahaan..bah!
dan ketika aku mendengar ceritanya malam ini, aku seperti melihat diriku 4 tahun silam. Jelas, aku tidak ingin dia mengulangi kesalahanku yang lampau, makanya mati-matian aku tegaskan agar dia menikah saja.
"Bagaimana jika kau mendapatkan semua mimpimu tapi ketika itu pula, tidak ada lagi dia yang sangat menginginkanmu ???" tanyaku.
Usia memang membuat orang makin dewasa, sama seperti cara berpikirku sekarang yang lebih sederhana. Dulu aku berpikir hanya akan menikah dengan orang yang kucinta, tapi kini aku tidak terlalu menempatkan cinta sebagai prioritas. Bagiku yang penting, aku nyaman dengannya.
Rick Warren dalam Purpose Driven dengan tegas mematahkan pandangan orang Kristen yang mengatakan, keputusan terpenting setelah terima Tuhan Yesus adalah menikah, Rick justru mengatakan, menikah itu adalah pilihan kita sendiri, nggap perlu terlalu didramatisir dengan doa puasa hingga minta tanda atau nubuatan. Itu hanya sekedar pilihan tok!
Jadi, pilihanku adalah menikah dengan dia yang mampu membuatku nyaman.
Pertanyaannya siapa ?
Nah pertanyaan ini sedikit terjawab dari diskusi kecil di dapur LBI UI dengan kak Yusran.
"Jangan tanya siapa, kau tinggal bayangkan saja bagaimana ciri-cirinya. Biasanya akan terjadi seperti itu,"
Aku jelas tertawa, karena tentu saja aku punya bayangan ciri-ciri pria yang ingin kupanggil suamiku...hanya saja, aku tak tau pasti apakah dia ada atau tidak. Aku takut dia hanya ada di imajinasiku.
Setahun lalu, ketika ibu terus mendesak agar aku menikah dengan pria yang secara langsung datang ke rumah untuk lamaran - di tengah prosesi pra lamaran itu - aku berimajinasi tentang pria imaginer itu. Bahkan ketika pada akhirnya aku menolak lamaran pria itu, dan menimbulkan petaka - aku memilih masuk ke kamar dan melanjutkan imajinasiku dipojok kamar. Dia itu nyata ga sih ?
Tiap pagi aku seperti merapal mantra dari yang tidak ada menjadi ada - mazmur 128 - aku berharap dia ada.
Balik soal rencana pernikahan...
Aku tidak mau terlalu muluk-muluk soal ini. Aku hanya berdoa tahun depan aku sudah menikah. Mungkin memang tidak perlu cinta, cukup hanya pengertian dan kesabaran saja untuk memulainya. Jikapun kemudian aku menikah dengan orang yang kucintai, kuanggap saja itu bonus..
Comments