Guys, izinkan aku menuliskan hal tolol ini karena memang akan menjadi sangat tolol jika tidak dibagikan haha.
Seperti biasa, anak muda Medan ini pergi ibadah di GBI Menteng di daerah Cikini. Kira-kira sepeminuman teh lah bisa nyampe disana. Itu kalau air tehnya dari dispenser, kalo airnya memang direbus betul, bisa mencapai 15 menit. Jadi sudah bisa kan kalian bayangkan dekatnya...
Nah, pulang ibadah aku belanja ke hero supermaket. Aku beli Rapika, melon berikut sambalnya, roti untuk sarapan (rencananya...===dan rencana ini selalu saja gagal karena tengah malam, aku terbangun dan tiba-tiba mendapati diriku sedang makan roti) dan beberapa bumbu untuk masak nasi goreng. Aku sudah membeli semua barang yang kubutuhkan sampai kemudian, aku teringat, hingga detik ini kiriman mama Tasya (ikan, daging segar dairi Manado) belum datang.
Setelah merenung sambil mutar-mutar di Hero, aku mulai berhitung pengeluaran untuk bulan ini. Pilihanku jatuh dengan membeli supermi dan telur. Agak sungkan sih aku beli mie instan itu karena mamaku sudah mengeluarkan fatwa haram untuk segala jenis mie instan (jadi selama di Medan, aku dan bapakku yang sama2 gila mie, dengan cara seksama bersekutu menyembunyikan mie2 instan di lemari atas bajuku dan hanya memasaknya jika mamaku ga di rumah. Plis, jangan bilang nyokapku soal rahasia ini).
Kalau sudah punya mie, trus beli apalagi ? YUp, aku membeli telur dan mengambilnya hanya dua butir. Aku pun menuju kasir.
"Mbak, telurnya kenapa belum ditimbang ? tanya kasir.
"Hah? Ditimbang ? Serius mbak ? " balasku tanya balik. Si kasir itu memandangku dengan ajaib sementara aku memandangnya dengan tatapan "Kau sudah gila yah? Halo...ini telur bukan melon,"
Seorang bapak yang mengantri di belakang memandangku dengan sinis. Ada apa sih dengan orang ini.
"Yah udah mbak, telurnya bawa aja ke belakang dan minta orang yang dibelakang untuk menimbangnya ?"
"Lho, telur di Jakarta di timbang yah ? Apa nggak bisa dihitung per butir saja mbak, " tawarku. Aku memasang muka yang paling manis dengan harapan tidak perlu membawa kedua telur yang telah kugemgam erat itu kembali ke belakang.
Tapi dengan dramatis dan nggak punya perasaan, si kasir menggeleng. Seketika itu juga hatiku hancur hikssss....
Sebenarnya saudara-saudara, aku ingin memperjuangkan hak telur2 itu untuk kumakan bersama mieku siang ini, tapi si bapak yang ngantri di belakangku tetap saja memandangku sinis seakan-akan aku ini mahluk asing dan norak. Padahal sesungguhnya menurut pandanganku, justru bapak dan si kasir itu yang norak dan aku punya alasan kuat kenapa ...
Setahuku, telur itu disebut butir..Nah, kalau sebuah benda disebut butir berarti benda itu bisa dibeli per satuan ( per butir). Jadi kenapa telur itu harus dipaksa dibeli per kilo ???
selain itu, bapak yang sejak awal memandangku dengan sinis itu; dia lebih norak (jika dia menilaiku norak) karena dia mengantri lama hanya untuk beli cabai merah.Ih ajaib, ada orang ke supermaket hanya untuk beli cabe saja. NORAK!
Dengan berat hati, aku membawa dua telur itu dan mengembalikannya ke belakang, "maafkan aku telurku..."
dan ketika nyampe di kasir, aku yang mengira persoalan sudah selesai masih saja dicecar dengan pertanyaan, "
"Lho, telurnya mana mbak? Nggak jadi yah? Kan tinggal ditimbang mbak ?" tanya si Kasir dengan muka sok imut
"Aku ga butuh telur lagi. Ntar kena kolestrol, "balasku sekenanya. Sementara itu bapak yang masih setia ngantri(yah iyalah dia terpaksa setia, kan mesin pembayarannya masih menunggu pelunasan barang2 yang kubeli hihihi) sekarang balik memandangku mohon belas kasihan agar aku segera memberesi pembayaranku dan lenyap dari hadapannya.
dan aku mengabulkan permohonan bapak itu. (leganya aku menjadi orang yang baik hihihi)
-------------------------------------------------------
Aku menuliskan ini tetap dengan satu pertanyaan, mengapa telur di Jakarta harus ditimbang ????
regards,
vita
p.s : di rumahku, telur nggak harus dibeli. Kau bisa mengambilnya langsung dari kandang ayam peliharaan bapakku.pak e....tak makan telur aku di jakarta ini hikssss
Seperti biasa, anak muda Medan ini pergi ibadah di GBI Menteng di daerah Cikini. Kira-kira sepeminuman teh lah bisa nyampe disana. Itu kalau air tehnya dari dispenser, kalo airnya memang direbus betul, bisa mencapai 15 menit. Jadi sudah bisa kan kalian bayangkan dekatnya...
Nah, pulang ibadah aku belanja ke hero supermaket. Aku beli Rapika, melon berikut sambalnya, roti untuk sarapan (rencananya...===dan rencana ini selalu saja gagal karena tengah malam, aku terbangun dan tiba-tiba mendapati diriku sedang makan roti) dan beberapa bumbu untuk masak nasi goreng. Aku sudah membeli semua barang yang kubutuhkan sampai kemudian, aku teringat, hingga detik ini kiriman mama Tasya (ikan, daging segar dairi Manado) belum datang.
Setelah merenung sambil mutar-mutar di Hero, aku mulai berhitung pengeluaran untuk bulan ini. Pilihanku jatuh dengan membeli supermi dan telur. Agak sungkan sih aku beli mie instan itu karena mamaku sudah mengeluarkan fatwa haram untuk segala jenis mie instan (jadi selama di Medan, aku dan bapakku yang sama2 gila mie, dengan cara seksama bersekutu menyembunyikan mie2 instan di lemari atas bajuku dan hanya memasaknya jika mamaku ga di rumah. Plis, jangan bilang nyokapku soal rahasia ini).
Kalau sudah punya mie, trus beli apalagi ? YUp, aku membeli telur dan mengambilnya hanya dua butir. Aku pun menuju kasir.
"Mbak, telurnya kenapa belum ditimbang ? tanya kasir.
"Hah? Ditimbang ? Serius mbak ? " balasku tanya balik. Si kasir itu memandangku dengan ajaib sementara aku memandangnya dengan tatapan "Kau sudah gila yah? Halo...ini telur bukan melon,"
Seorang bapak yang mengantri di belakang memandangku dengan sinis. Ada apa sih dengan orang ini.
"Yah udah mbak, telurnya bawa aja ke belakang dan minta orang yang dibelakang untuk menimbangnya ?"
"Lho, telur di Jakarta di timbang yah ? Apa nggak bisa dihitung per butir saja mbak, " tawarku. Aku memasang muka yang paling manis dengan harapan tidak perlu membawa kedua telur yang telah kugemgam erat itu kembali ke belakang.
Tapi dengan dramatis dan nggak punya perasaan, si kasir menggeleng. Seketika itu juga hatiku hancur hikssss....
Sebenarnya saudara-saudara, aku ingin memperjuangkan hak telur2 itu untuk kumakan bersama mieku siang ini, tapi si bapak yang ngantri di belakangku tetap saja memandangku sinis seakan-akan aku ini mahluk asing dan norak. Padahal sesungguhnya menurut pandanganku, justru bapak dan si kasir itu yang norak dan aku punya alasan kuat kenapa ...
Setahuku, telur itu disebut butir..Nah, kalau sebuah benda disebut butir berarti benda itu bisa dibeli per satuan ( per butir). Jadi kenapa telur itu harus dipaksa dibeli per kilo ???
selain itu, bapak yang sejak awal memandangku dengan sinis itu; dia lebih norak (jika dia menilaiku norak) karena dia mengantri lama hanya untuk beli cabai merah.Ih ajaib, ada orang ke supermaket hanya untuk beli cabe saja. NORAK!
Dengan berat hati, aku membawa dua telur itu dan mengembalikannya ke belakang, "maafkan aku telurku..."
dan ketika nyampe di kasir, aku yang mengira persoalan sudah selesai masih saja dicecar dengan pertanyaan, "
"Lho, telurnya mana mbak? Nggak jadi yah? Kan tinggal ditimbang mbak ?" tanya si Kasir dengan muka sok imut
"Aku ga butuh telur lagi. Ntar kena kolestrol, "balasku sekenanya. Sementara itu bapak yang masih setia ngantri(yah iyalah dia terpaksa setia, kan mesin pembayarannya masih menunggu pelunasan barang2 yang kubeli hihihi) sekarang balik memandangku mohon belas kasihan agar aku segera memberesi pembayaranku dan lenyap dari hadapannya.
dan aku mengabulkan permohonan bapak itu. (leganya aku menjadi orang yang baik hihihi)
-------------------------------------------------------
Aku menuliskan ini tetap dengan satu pertanyaan, mengapa telur di Jakarta harus ditimbang ????
regards,
vita
p.s : di rumahku, telur nggak harus dibeli. Kau bisa mengambilnya langsung dari kandang ayam peliharaan bapakku.pak e....tak makan telur aku di jakarta ini hikssss
Comments