Skip to main content

hujan datang donk plissssssssss

pernah ga sih kamu benar2 ngarapin hujan turun... aku enggak pernah tuh kecuali hari ini. rumahku yang selalu banjir tiap kali musim penghujan, seminggu ini sudah direnovasi kecil-kecilan. pipa air yang terbenam tepat di bawah ranjangku di bongkar lagi. alhasil kamar benar2 berantakan dan aku mengungsi tidur ruang tamu. aku bilang ke ibu kalo rumah kami ga lebih baik dari yang sedang terjadi di Pakistan. eh, ibu malah bales bilang, "kayak pernah aja kau ke pakistan."

bapakku bilang, kalo hasilnya (renovasi) bagus, kamarku akan dibuat lantai keramik. jadi untuk memastikannya harus ada hujan gede. jika hujan gede dan ternyata ga banjir yah langsung deh kamarnya direnovasi juga, kalo ga yah dibiarkan kayak dulu. so, hari ini aku berharap hujan gede banget hihihihih


tadi sebelum ngantor aku sempat bilang ke ibu mo beli rak buku. tapi ibu melarang, "Nggak usah! ntar sayang."

"Sayang gimana?! Kan bagus bu. Lagipula kalau aku nikah, kan lemarinya masih bisa dibawa." jawabku berdiplomasi agar ibu ngizinin.

ibu melirik sebentar dan bilang gini (aku terhenyak kaget), "aku ga tahu yah, tapi hatiku bilang kalau kau menikah dan akan pergi jauh. Ga tinggal disini. Makanya ibu bilang kau simpanlah duitmu."

dan gie! tiba2 aku ingat sebuah ayat alkitab yang kuklaim sebagai janji Tuhan atas keluargaku kelak. Oh God! kalau emang ga di Medan, mudah-mudahan bukan di Jakarta. AKu ga suka. MACET!!!

Comments

Popular posts from this blog

liputan ke aceh

aceh... akhirnya aku menjejak kaki juga ke serambi mekah itu. dan hatiku menangis. dalam. rick paddcok-rekanku-jurnalis kawakan dari LA Times memegang tanganku. "it's ok rick, " aku menepis tangannya. kaki terus melangkah.pelan. tiap langkah hanya tangisan yang dalam. aku menghela napas. berat. sementara pastorku-Sukendra Saragih menangis pilu. raut wajahnya -God! aku tau betapa tersiksanya dia melihat ini semua. 9 tahun ia bolak-balik aceh. ratusan ribu kali. hanya untuk satu visi agar ada hidup baru yang mengalir di aceh. tapi hari ini.. gelombang tsunami meluluhlantakkan negeri ini dan menyeret ratusan ribu jiwa ke neraka. aku menarik napas lagi. kali ini lebih dalam. tapi yang terjadi aku malah muntah. Rick memegang pundakku,"are you ok vie" aku meraih lengannya. aku hanya bisa mengangguk pasrah. dan aku pun memulai liputanku. aku disana seminggu. ada banyak hal yang ingin kuceritakan. tentang kehilangan. tentang rasa sepi.tentang keputusasaan. tentang ...

kangenku melayang

Aku kangen banget hari ini- dengan kamu – pria yang begitu mempesona. Tapi rinduku ga pernah jelas bagimu. Kamu menejermahkannya dengan candaan tetapi aku mengartikannya sebagai penolakan. Rinduku ga pernah penting untukmu. Sesaat aku menyesal mencintaimu. Tetapi aku terlanjur mencintaimu dan aku ga akan pernah mencabutnya kembali. Aku terlalu mencintaimu. Akh..andai waktu bisa terulang. Andai jarak bisa ditiadakan… Jangan bilang aku kekanakan. Jangan bilang aku tidak mengerti dengan yang kukatakan. Bahasaku sederhana – aku hanya ingin berada disisimu.

Cara melupakan Kenangan Pahit

Kenangan pahit tidak perlu dipaksa dilupakan. Biarkan saja dia mengendap dengan sendirinya. Aku yakin waktu bisa membuat kenangan itu terlupakan. Dan inilah yang kualami. Aku perlu waktu yang lama untuk bisa melupakan kenangan itu. Awalnya pengen buru-buru menghapusnya dan menguburnya namun aku memilih proses waktu yang melakukannya. Malam ini aku menguji coba lagi apakah kenangan itu masih terasa pahit dan sakit saat aku melihat wajah itu. Puji Tuhan ternyata tidak. Aku melihatnya sama seperti jika aku melihat wajah orang lain. Memang kenangan itu masih ada tapi tidak lagi menimbulkan rasa nyeri seperti yang kurasakan untuk pertama kali pada 4 tahun silam. Kenangan yang pahit hanya bisa merubah ketika kita secara berani membiarkan hati kita melakukan recovery secara berlahan dan tidak dipaksakan. Artinya memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aku pun melakukannnya dengan sangat berlahan. Pertama memberikan diriku kesempatan untuk menangis. Kedua ...