Hari ini aku ketemu dia. Aku hanya berani menatapnya dari jauh. Mau negur kok rasanya berat. Dia aneh sih. Hm, atau sebenarnya yang aneh itu malah aku.
Sebulan lalu…
“ Kau sakit yah? Pening ? Kenapa ? “ cowok itu tiba2 saja ramah dan perhatian gitu. Bukannya berterima kasih aku malah diam aja.
Cowok itu aneh. Keren sih tapi yah tetap aja aneh. Lebih suka menjengkelkan daripada menyenangkan. Kecuali poin dimana dia selalu ada saat kubutuhkan. Selebihnya sangat menjengkelkan.
“Kau ini gimana sih?! Kerja atau main2 kesini? “ gitu katanya tanpa melihat mukaku yang sembab karena baru menangis. Bukannya menjawab aku malah mengeluarkan D70 ku dan mulai motret.
“ Amatir gini hasilnya. Baru belajar kemarin sore yah?!” kritiknya lagi. Kali ini di depan teman2. Ratusan foto yang terpampang di laptopnya dikritik. SELURUHNYA.
“ Bagus kok hasilnya. Aku suka. Belajar dimana? Aku suka takjub ngeliat cewek bisa motret.” Teman cowok aneh itu – yang jauh lebih keren – tapi yang bakal menikah tahun ini hiks – malah memandangku kagum.
“Belajar sendiri.” Balasku pendek.
Cowok itu selalu ada dimana aku berada. Kayak judul sinetron Tuhan ada dimana mana. Yang satu ini judulnya diubah dikit. Cowok aneh itu ada dimana mana. Dimana aku duduk dia ada disana. Bahkan dia ada ketika pagi hari aku bangun dan masih dalam keadaan kucel (dia udah mandi, rapi dan makin keren dengan batik yang dikenakannya) dia mengetuk pintu kamarku dan mengajak jalan bareng. Dia menatap dengan pandangan yang ngeri untuk kujabarkan.
Hari ini aku ketemu dia. Aku hanya berani menatapnya dari jauh. Mau negur kok rasanya berat. Dia aneh sih. Hm, atau sebenarnya yang aneh itu malah aku.
Aku melihatnya beberapa kali. Tepatnya mencuri lihat ke arahnya. Aku melihatnya tersenyum. Sungguh, senyum itu indah sekali. Aku melihatnya tertawa. Well, sepertinya dia normal. Ketika pulang, aku izinkan dia menyadari keberadaanku. Dia kaget tapi langsung memalingkan wajah ketika aku pura2 melihat ke arahnya. Hm, dia masih tetap sama. ANEH!
“Gimana kalo kita jadian? “ Pria itu – yang pernah membuat hatiku berbunga- bunga – mengatakannya sambil tertawa.
Tapi aku tidak tertawa. Aku menimbang keseriusannya. “Aku mau menikah.” Balasku.
“Kapan emang loe mau nikah?”
“Tahun ini. Pengennya Juli.”
“Kenapa ga May aja. Maybe yes maybe Not,” Dia tertawa mengerikan. Aku mendengarnya gemes. Bukan gemes pengen meluk tapi nonjok.
“Gue serius. Gue mo nikah tahun ini,” Nada suaraku kutekan senormal mungkin.
“Ya udah nikah aja sono,”
Sumpe! Detik itu juga aku ingin bukan saja menonjoknya tapi juga menyalibkannya. Cowok aneh. Dia ngajak jadian tapi ga nanya dengan siapa aku mau nikah bulan Juli ini. Nggak penting kali aku bagi dia. Buktinya dia anteng aja nyuruh aku nikah. Padahal kalo dia serius mau jadian denganku seharusnya dia kaget dengar aku mau nikah. Bulan Juli lagi. Eh ini malah dia nyuruh cepat nikah. Cowok aneh!
“Dek, napa belum tidur ? Dah malam lho” tanya pria yang katanya mencintaiku.
Pertanyaan bego yah. “Tadi sih dah tidur sampai abang meneleponku,”
Dia tertawa. “Abang nggak bisa tidur. Banyak pikiran. Kamu udah mimpi apa aja?”
Idih, pertanyaan bego lainnya. Masa sih dia nelpon hanya mau tahu aku mimpi apa. Lagipula kayak besok nggak ketemu aja. Ngapain juga nelpon malam-malam kalo bisa bicara panjang lebar besok sampai teler tanpa ngabisin pulsa. Cowok aneh.
“Kenapa? Mau ikutan togel yah?”
Dia malah tertawa.”Kau memang lucu kali ya dek. Makanya abang suka samamu.”
“Yah, itu aku tahu. Hm, ini keseribu lina ratus kali abang bilang itu. Ada pujian yang lain ga?”
Eh, ketawanya makin keras. Dasar sableng!
Pria itu – katanya sungguh2 mencintaiku. Tapi aku nggak yakin itu. Jika dia mencintaiku harusnya dia melakukan sesuatu yang membuatku tahu dan cukup yakin dengan perkataannya. Dia tidak pernah membuktikannya. Ketika dia meminta nomor telepon rumah dengan cara memohon seribu kali dan aku ngotot tidak memberikan, toh dia nggak pernah mencoba mencari tahu nomor telepon itu dari sumber yang lain. Ketika dia tahu ibuku masuk rumah sakit dan dia tahu kabar itu justru ketika ibu sudah pulih dan kembali ke rumah, dia nggak ngotot harus ke rumahku sekedar untuk bilang hai pada ibuku. Padahal seandainya dia terlihat sekali saja berjuang – ngotot untuk masuk ke dalam kehidupan pribadiku – meski kularang – aku jamin aku akan luluh juga dalam cintanya.
Tapi nyatanya kan enggak. ANEH!
Pria-pria aneh di sekitarku hanya mampu memperkatakan tanpa melakukan. Mereka berharap dengan tindakan yang hanya mengeluarkan pepesan kosong – bermodal lidah yang mengeluarkan rayuan gombal sesaat – mereka bisa mendapatkan wanita.
Wanita hanya ingin dikasihi dan rasa aman. Jika seorang pria dapat memberikan ini pastilah si wanita akan bertekuk lutut. Jika pun masih ada wanita yang tergila-gila kepada pria yang bisanya jual pepesan kosong, itu adalah wanita yang bodoh. Maaf saja, AKU BUKAN WANITA YANG BODOH!
Sebulan lalu…
“ Kau sakit yah? Pening ? Kenapa ? “ cowok itu tiba2 saja ramah dan perhatian gitu. Bukannya berterima kasih aku malah diam aja.
Cowok itu aneh. Keren sih tapi yah tetap aja aneh. Lebih suka menjengkelkan daripada menyenangkan. Kecuali poin dimana dia selalu ada saat kubutuhkan. Selebihnya sangat menjengkelkan.
“Kau ini gimana sih?! Kerja atau main2 kesini? “ gitu katanya tanpa melihat mukaku yang sembab karena baru menangis. Bukannya menjawab aku malah mengeluarkan D70 ku dan mulai motret.
“ Amatir gini hasilnya. Baru belajar kemarin sore yah?!” kritiknya lagi. Kali ini di depan teman2. Ratusan foto yang terpampang di laptopnya dikritik. SELURUHNYA.
“ Bagus kok hasilnya. Aku suka. Belajar dimana? Aku suka takjub ngeliat cewek bisa motret.” Teman cowok aneh itu – yang jauh lebih keren – tapi yang bakal menikah tahun ini hiks – malah memandangku kagum.
“Belajar sendiri.” Balasku pendek.
Cowok itu selalu ada dimana aku berada. Kayak judul sinetron Tuhan ada dimana mana. Yang satu ini judulnya diubah dikit. Cowok aneh itu ada dimana mana. Dimana aku duduk dia ada disana. Bahkan dia ada ketika pagi hari aku bangun dan masih dalam keadaan kucel (dia udah mandi, rapi dan makin keren dengan batik yang dikenakannya) dia mengetuk pintu kamarku dan mengajak jalan bareng. Dia menatap dengan pandangan yang ngeri untuk kujabarkan.
Hari ini aku ketemu dia. Aku hanya berani menatapnya dari jauh. Mau negur kok rasanya berat. Dia aneh sih. Hm, atau sebenarnya yang aneh itu malah aku.
Aku melihatnya beberapa kali. Tepatnya mencuri lihat ke arahnya. Aku melihatnya tersenyum. Sungguh, senyum itu indah sekali. Aku melihatnya tertawa. Well, sepertinya dia normal. Ketika pulang, aku izinkan dia menyadari keberadaanku. Dia kaget tapi langsung memalingkan wajah ketika aku pura2 melihat ke arahnya. Hm, dia masih tetap sama. ANEH!
“Gimana kalo kita jadian? “ Pria itu – yang pernah membuat hatiku berbunga- bunga – mengatakannya sambil tertawa.
Tapi aku tidak tertawa. Aku menimbang keseriusannya. “Aku mau menikah.” Balasku.
“Kapan emang loe mau nikah?”
“Tahun ini. Pengennya Juli.”
“Kenapa ga May aja. Maybe yes maybe Not,” Dia tertawa mengerikan. Aku mendengarnya gemes. Bukan gemes pengen meluk tapi nonjok.
“Gue serius. Gue mo nikah tahun ini,” Nada suaraku kutekan senormal mungkin.
“Ya udah nikah aja sono,”
Sumpe! Detik itu juga aku ingin bukan saja menonjoknya tapi juga menyalibkannya. Cowok aneh. Dia ngajak jadian tapi ga nanya dengan siapa aku mau nikah bulan Juli ini. Nggak penting kali aku bagi dia. Buktinya dia anteng aja nyuruh aku nikah. Padahal kalo dia serius mau jadian denganku seharusnya dia kaget dengar aku mau nikah. Bulan Juli lagi. Eh ini malah dia nyuruh cepat nikah. Cowok aneh!
“Dek, napa belum tidur ? Dah malam lho” tanya pria yang katanya mencintaiku.
Pertanyaan bego yah. “Tadi sih dah tidur sampai abang meneleponku,”
Dia tertawa. “Abang nggak bisa tidur. Banyak pikiran. Kamu udah mimpi apa aja?”
Idih, pertanyaan bego lainnya. Masa sih dia nelpon hanya mau tahu aku mimpi apa. Lagipula kayak besok nggak ketemu aja. Ngapain juga nelpon malam-malam kalo bisa bicara panjang lebar besok sampai teler tanpa ngabisin pulsa. Cowok aneh.
“Kenapa? Mau ikutan togel yah?”
Dia malah tertawa.”Kau memang lucu kali ya dek. Makanya abang suka samamu.”
“Yah, itu aku tahu. Hm, ini keseribu lina ratus kali abang bilang itu. Ada pujian yang lain ga?”
Eh, ketawanya makin keras. Dasar sableng!
Pria itu – katanya sungguh2 mencintaiku. Tapi aku nggak yakin itu. Jika dia mencintaiku harusnya dia melakukan sesuatu yang membuatku tahu dan cukup yakin dengan perkataannya. Dia tidak pernah membuktikannya. Ketika dia meminta nomor telepon rumah dengan cara memohon seribu kali dan aku ngotot tidak memberikan, toh dia nggak pernah mencoba mencari tahu nomor telepon itu dari sumber yang lain. Ketika dia tahu ibuku masuk rumah sakit dan dia tahu kabar itu justru ketika ibu sudah pulih dan kembali ke rumah, dia nggak ngotot harus ke rumahku sekedar untuk bilang hai pada ibuku. Padahal seandainya dia terlihat sekali saja berjuang – ngotot untuk masuk ke dalam kehidupan pribadiku – meski kularang – aku jamin aku akan luluh juga dalam cintanya.
Tapi nyatanya kan enggak. ANEH!
Pria-pria aneh di sekitarku hanya mampu memperkatakan tanpa melakukan. Mereka berharap dengan tindakan yang hanya mengeluarkan pepesan kosong – bermodal lidah yang mengeluarkan rayuan gombal sesaat – mereka bisa mendapatkan wanita.
Wanita hanya ingin dikasihi dan rasa aman. Jika seorang pria dapat memberikan ini pastilah si wanita akan bertekuk lutut. Jika pun masih ada wanita yang tergila-gila kepada pria yang bisanya jual pepesan kosong, itu adalah wanita yang bodoh. Maaf saja, AKU BUKAN WANITA YANG BODOH!
Comments