Emil pulang ke Indonesia. Dia pulang karena adiknya nikah. Hanya 2 hari saja dia ada. Selebihnya harus segera balik ke Filipin. Dia ngajak ketemuan. Dia nggak banyak berubah. Mungkin hanya tambah beberapa kilo, tapi selebihnya tetap aja sama. Tinggi dan tukang cerita. Dia bilang dia mau menikah November ini, tanggal 4.
“Emang cewekmu November juga kayak aku,”
Dia tertawa kecil Giginya udah rapi dan putih sekarang. Nggak kayak dulu, coklat dan berlubang-lubang. “Ya enggaklah Nov. Aku milih bulan Nov justru karena sebagai kenangan untukmu. Yah karena akhirnya bukan denganmu aku menikah.,”
Aku melongo bego. “Maksudnya apa sih?”
“Yah, kita sudah sangat lama saling kenal. Aku bahkan lebih kenal kau Nov dibanding pacarku. Hanya karena nggak jodoh aja kita makanya kita nggak nikah.”
Emil memang selalu begitu. Jago berkata-kata. Aku jelas nggak tersanjung. Mulut Emil sih kurang layak dipercaya jika menyangkut wanita. Simpanannya banyak.
“Kalau aku sih dipastikan bakal nolak dijodohkann denganmu Kalo pun pernah suka, justru karena aku sedang ditipu oleh pesona spideymu.”
Dia ngakak.”Setidaknya pernah kan Nov,”
Aku memang pernah suka sama Emil. Nggak sampai tergila-gila sih. Naksir dikit aja. Selebihnya jadi masa lalu. Emil dan aku kayak langit dan bumi. Nggak pernah ada kata sepakat. Kalo pun sering terlibat pelayanan bersama, cara dia dan aku mencapai gol sangat berbeda. Jangankan Tuhan, bahkan orang yang baru pertama kali ngeliat kami pasti bisa melihat pancaran perbedaan itu. Tetapi di tangan kami pula berbagai proyek pelayanan gereja lokal maupun jaringan pemuda berhasil.
Emil nggak pernah suka melihat pria yang menjadi pilihanku. Dan aku juga kerap memandang aneh wanita yang suka diajaknya kencan. Uniknya, wanita-wanita itu malah menjadikan aku tempat curhatnya. Mereka tahu kali aku berani menentang Emil hihihihi
Akh Emil, akhirnya dia menikah juga. Hm, andai aku bisa menikah terlebih dahulu dari dia yah. Sekali lagi, aku ingin memenangkan kompetisi ini hiksss…Ampuni aku Ayah.
“Emang cewekmu November juga kayak aku,”
Dia tertawa kecil Giginya udah rapi dan putih sekarang. Nggak kayak dulu, coklat dan berlubang-lubang. “Ya enggaklah Nov. Aku milih bulan Nov justru karena sebagai kenangan untukmu. Yah karena akhirnya bukan denganmu aku menikah.,”
Aku melongo bego. “Maksudnya apa sih?”
“Yah, kita sudah sangat lama saling kenal. Aku bahkan lebih kenal kau Nov dibanding pacarku. Hanya karena nggak jodoh aja kita makanya kita nggak nikah.”
Emil memang selalu begitu. Jago berkata-kata. Aku jelas nggak tersanjung. Mulut Emil sih kurang layak dipercaya jika menyangkut wanita. Simpanannya banyak.
“Kalau aku sih dipastikan bakal nolak dijodohkann denganmu Kalo pun pernah suka, justru karena aku sedang ditipu oleh pesona spideymu.”
Dia ngakak.”Setidaknya pernah kan Nov,”
Aku memang pernah suka sama Emil. Nggak sampai tergila-gila sih. Naksir dikit aja. Selebihnya jadi masa lalu. Emil dan aku kayak langit dan bumi. Nggak pernah ada kata sepakat. Kalo pun sering terlibat pelayanan bersama, cara dia dan aku mencapai gol sangat berbeda. Jangankan Tuhan, bahkan orang yang baru pertama kali ngeliat kami pasti bisa melihat pancaran perbedaan itu. Tetapi di tangan kami pula berbagai proyek pelayanan gereja lokal maupun jaringan pemuda berhasil.
Emil nggak pernah suka melihat pria yang menjadi pilihanku. Dan aku juga kerap memandang aneh wanita yang suka diajaknya kencan. Uniknya, wanita-wanita itu malah menjadikan aku tempat curhatnya. Mereka tahu kali aku berani menentang Emil hihihihi
Akh Emil, akhirnya dia menikah juga. Hm, andai aku bisa menikah terlebih dahulu dari dia yah. Sekali lagi, aku ingin memenangkan kompetisi ini hiksss…Ampuni aku Ayah.
Comments