Skip to main content

Suara adzan: Tinggal menunggu waktu saja

Saya tertarik sekali membahas tentang pidatonya pak Wapres, Boediono yang menyatakan kalau suara adzan tidak perlu diperdengarkan keras-keras. Pidato yang diucapkan beliau di depan para ulama ini langsung menuai kecaman luas dari masyarakat Muslim Indonesia. Saya tertarik karena persoalan ini mengingatkan saya tentang topic esai yang baru saja saya serahkan sebagai tugas akhir di kampus. Saya cerita sedikit mengenai tugas saya tersebut. Tugas saya itu adalah menggarap perbandingan antara bunyi lonceng di Perancis pada abad ke 19 dan bunyi kentongan pada masyarakat Indonesia.

Ada beberapa fakta yang menarik saya temukan:

Pertama, Baik lonceng maupun kentongan sama-sama dikenal pada awal abad ke 19. Pada awal abad ke 19, listrik belum ditemukan sehingga belum ada peralatan elektronik ataupun media social seperti yang kita kenal saat ini. Baik masyarakat Perancis (khususnya yang berada di country side), dan masyarakat Indonesia masih memanfaatkan alat komunikasi tradisional berupa bel (di Perancis) dan kentongan (di Indonesia).

Kedua, baik lonceng maupun kentongan lahir dari sejumlah mitos-mitos budaya dan agama yang mengikutiya. Kalau di Perancis, bunyi lonceng dipercaya sebagai pembuka pintu bagi malaikat surga turun ke bumi dan penutup bagi mahluk neraka untuk bisa keluar. Kalau di Indonesia, mitos masyarakat Jawa, Bali dan Madura misalnya percaya kalau kentongan adalah perlambang pengusiran terhadap roh-roh jahat. Nah, atas nama mitos-mitos inilah kenapa kemudian bisa dipahami baik lonceng dan kentongan lebih dipakai sebagai alat komunikasi budaya, agama dan keamanan.

Ketiga, lonceng mengalami grafik penggunaan yang sedikit berbeda dari kentongan. Bagian inilah yang ingin saya jelaskan dan kaitkan dengan pidato pak Wapres.Lonceng yang dikenal pada awal abad ke 19 dipakai dan dikuasai para angelus (ini sebutan bagi pemuka agama Katolik saat itu). Mereka menggunakan lonceng untuk membangun masyarakat Perancis berdoa bersama dan menjadi penanda dimulainya aktifitas hari itu. Bagi saya dititik ini, suara adzan di masjid juga memiliki kesamaan fungsi dengan lonceng pada masyarakat Perancis abad ke 19. Lonceng ini juga dipakai untuk menandai adanya open market, kedatangan petugas pajak, panggilan di kala senja telah tiba yang berarti sudah saatnya berhenti bekerja di ladang, pulang ke rumah dan beristrahat hingga lonceng dibunyikan terakhir kali sebagai panggilan untuk berdoa sebelum tidur malam. Jadi dalam konteks ini, lonceng bukan saja soal panggilan untuk menjalankan aktivitas keagamaan tapi sudah memasuki wilayah umum misal pekerjaan. Di titik ini, saya melihat kumandang azan di masjid mirip dengan lonceng di Perancis tapi dalam lingkup aktivitas keagamaan.

Lebih jauh lagi, lonceng semakin popular di kalangan masyarakat Perancis dan mulai mengatur hal-hal lain yang bersifat umum misal pengumuman perang, kemenangan perang hingga penanda kelahiran, kematian dan pernikahan keluarga bangsawan dan kerajaan hingga kemudian pemerintah Perancis pada masa itu mulai merasa tersaingi dengan kekuasaan para Angelus yang menggunakan bunyi lonceng untuk mengontrol masyarakat Perancis. Pada titik inilah, lonceng kemudian ditarik menjadi simbol kekuasaan yang lantas diperebutkan oleh Angelus dan pemerintahan. Sehingga kemudian pihak Angelus tetap menjadi pihak yang membunyikan lonceng namun kapan dibunyikan dan untuk apa, semuanya dikendalikan oleh pemerintahan. Lonceng kemudian mengalami kemunduran, dikecam dan ditolak habis-habisan saat listrik ditemukan. Listrik membangkitkan industry-industri baru yang kemudian secara berlahan mengubah gaya hidup masyarakat Perancis. Masyarakat Perancis akhirnya memiliki gaya hidup malam sehingga ketika lonceng dibunyikan pada subuh hari maka masyarakat yang mendengarnya menjadi sangat terganggu. Sampai-sampai mereka mengajukan protes ke pemerintahan dan mengecam dan menolak penggunaan lonceng. “Bahkan anjing saja menggonggong protes karena suara lonceng pagi-pagi buta,” Begitu salah satu kecaman mereka.


Selain gaya hidup malam, masyarakat juga telah menemukan identitas mereka yang baru sebagai masyarakat modern, dimana lonceng tidak lagi dianggap bisa mewakili identitas mereka yang baru ini. Jam sudah diproduksi massal, calendar telah diproduksi massa, masyarakat juga telah menggunakan selebaran, bulletin untuk menyebarkan informasi. Masyarakat juga telah menggunakan alaram, sirene untuk menggantikan posisi lonceng. Sampai kemudian lonceng dilupakan dan kini hanya digunakan di lingkungan gereja saja. Nah dibandingkan dengan kentongan, perjalanan kentongan juga hampir mirip meski hingga kini kentongan masih digunakan di beberapa pelosok desa atau daerah penggunungan. Saya masih ingat ketika saya kecil di kota Medan, dulu kentongan dipakai untuk membangunkan warga, untuk jaga malam atau untuk memberitahukan ada pencurian. Namun kini saya tidak lagi menemukan kentongan (apalagi pos ronda). Saya pikir karena memang masyarakat sudah menemukan teknologi lain yang lebih praktis dan masyarakat juga sudah bergerak menjadi masyarakat yang individualis. Yah contoh sederhananya, kalau mau aman pasang pos satpam didepan rumah. Kalau di rumah tengah malam ada yang sakit, yah tinggal keluarkan mobil dan bawa si sakit ke rumah sakit. Beda dengan puluhan tahun lalu, dimana satu warga dengan warga lain saling bantu dan tergantung. Kita masih memiliki pos ronda dimana semua warga dapat giliran untuk ronda. Kalau ada anggota keluarga yang sakit, maka kita buru-buru ketok rumah tetangga dan minta diantarin ke mantri terdekat.

Dari uraian diatas, saya pikir pernyataan pak wapres yang kemudian diikuti pro kontra masyarakat atas pernyataan tersebut hanyalah ujud dari pergeseran identitas social masyarakat Indonesia saja. Bagi saya, masalah suara adzan apakah kemudian diperdengarkan keras-keras atau sayup-sayup ataukah diperdengarkan hanya di lingkungan masjid saja atau masih akan terus diperdengarkan ke lingkungan sekitar masjid; semua itu hanya tinggal menunggu waktu saja.

Akhir kata, teknologi memang akan menggeser peradaban manusia dan ruang agama termasuk bagian dari peradaban itu sendiri.

Referensi: Corbin, A. (1998) Village Bells: sound and meaning in the nineteenth-century french countryside. United States: Columbia University Press.

Comments

Popular posts from this blog

kangenku melayang

Aku kangen banget hari ini- dengan kamu – pria yang begitu mempesona. Tapi rinduku ga pernah jelas bagimu. Kamu menejermahkannya dengan candaan tetapi aku mengartikannya sebagai penolakan. Rinduku ga pernah penting untukmu. Sesaat aku menyesal mencintaimu. Tetapi aku terlanjur mencintaimu dan aku ga akan pernah mencabutnya kembali. Aku terlalu mencintaimu. Akh..andai waktu bisa terulang. Andai jarak bisa ditiadakan… Jangan bilang aku kekanakan. Jangan bilang aku tidak mengerti dengan yang kukatakan. Bahasaku sederhana – aku hanya ingin berada disisimu.

liputan ke aceh

aceh... akhirnya aku menjejak kaki juga ke serambi mekah itu. dan hatiku menangis. dalam. rick paddcok-rekanku-jurnalis kawakan dari LA Times memegang tanganku. "it's ok rick, " aku menepis tangannya. kaki terus melangkah.pelan. tiap langkah hanya tangisan yang dalam. aku menghela napas. berat. sementara pastorku-Sukendra Saragih menangis pilu. raut wajahnya -God! aku tau betapa tersiksanya dia melihat ini semua. 9 tahun ia bolak-balik aceh. ratusan ribu kali. hanya untuk satu visi agar ada hidup baru yang mengalir di aceh. tapi hari ini.. gelombang tsunami meluluhlantakkan negeri ini dan menyeret ratusan ribu jiwa ke neraka. aku menarik napas lagi. kali ini lebih dalam. tapi yang terjadi aku malah muntah. Rick memegang pundakku,"are you ok vie" aku meraih lengannya. aku hanya bisa mengangguk pasrah. dan aku pun memulai liputanku. aku disana seminggu. ada banyak hal yang ingin kuceritakan. tentang kehilangan. tentang rasa sepi.tentang keputusasaan. tentang ...

arti cincin di jari manis

Hari ini seorang teman dari Jepang bertanya padaku apakah aku telah menikah. Aku balik bertanya kenapa dia berpikir demikian dan jawabannya karena aku memakai cincin di jari manis kiri. Aha! Pertanyaan ini pernah juga terlontar di hari terakhir aku di Jerusalem saat menghadiri konvokasi doa internasional. Seorang volunteer dari negara South Afrika menanyakan hal yang sama. Dan wanita ini menanyakan hal itu karena ternyata seorang pria bertanya kepadanya apakah aku telah menikah. Waktu itu aku belum bisa menangkap hubungan antara memakai cincin yang telah puluhan tahun menghiasi jariku dengan apakah aku telah menikah atau belum. Wanita itu bilang hampir di seluruh negara terutama negara barat, orang yang memakai cincin di jari manis kiri adalah orang yang telah menikah. Waktu itu pula wanita itu memandang kasihan padaku. Oh Tuhan benci sekali aku pandangan itu . Dari pandangannya aku mengartikan kalau aku telah melewati kesempatan untuk bertemu dengan para pria yang luar biasa di acar...