Skip to main content

Mengapa siswa melakukan penembakan di sekolah

Penembakan yang dilakukan seorang siswa terhadap rekan-rekannya di sekolah menjadi hal yang berulang kali terjadi. Banyak pihak kemudian mempertanyakan tingkat kewarasan si siswa tersebut, latar belakang keluarganya dan alasan-alasan lain yang bisa menjelaskan mengapa seorang siswa tega menghujani rekan-rekannya dengan tembakan membabi buta tanpa arah dalam hitungan menit.



Dari sekian banyak alasan, hal yang kini menjadi sorotan dunia internasional ialah kasus bullying. Kasus yang kental bernuansa fisik.



Tulisan saya ini mengajak anda masuk ke alam pikiran si pelaku ( meski saya lebih cenderung menyebutnya si korban ) yang saya dasarkan dari pengalaman saya bersekolah di Inggris setahun terakhir ini.



Saya saat ini menempuh pendidikan master bidang media di Universitas Sussex, Inggris. Tepatnya di kota wisata Brighton. Saya mempunyai harapan yang cukup besar ketika memilih Inggris sebagai tujuan studi saya. Saya membayangkan akan mendapatkan system pendidikan yang berbeda dari sarjana strata -1 saya di Universitas Sumatera Utara, akan bersentuhan langsung dengan beragaman kebudayaan yang saya bayangkan sangat memperkaya hidup saya, hingga akan memiliki jaringan internasional yang luas.



Dan saya berusaha mengujudkannya. Mulai dari tersenyum, menyapa terlebih dahulu, berbagi makanan, menawarkan bantuan hingga tentu saja aktif di dalam kelas. Namun hasilnya nol. Dalam sebuah seminar dimana pengajarnya dan teman-teman sekelas mayoritas adalah orang Inggris asli, saya harus cukup jeli untuk mendapatkan benang merah dari arus diskusi yang terjadi karena mereka berbagi cerita tentang sesuatu yang diluar jangkauan saya. Misal, bagaimana mungkin saya bisa mengetahui ikon talk show terpopuler di Inggris era tahun 80, an, atau bagaimana saya tahu siapa mengatakan apa pada pemilihan perdana menteri Inggris tahun lama atau cerita rakyat Inggris yang menjadi cerita legenda rakyat Skotlandia. Hal ini semakin parah karena mereka juga berbagi anekdot rakyat Inggris yang bagi saya (sebagai mahasiswa internasional), tidak bisa merasakan tingkat kelucuannya.



Yah, sama seperti apa yang lucu bagi orang Padang belum tentu lucu bagi orang Batak seperti saya meski sama-sama berasal dari Pulau Sumatera.



Namun sungguh, saya berusaha untuk mengikuti diskusi yang terjadi di ruang seminar karena saya paham ini akan memperkaya pengetahuan saya akan jenis budaya yang berbeda. Saya bertanya dan berusaha ikut menanggapi diskusi yang berbasis budaya mereka. Dengan begitu saya menunjukkan antusiasme dan penghormatan atas budaya mereka. Namun sebaliknya ketika saya juga ikut menyumbangkan pendapat dan tentu saja membawa Indonesia sebagai contoh kasus, mereka sama sekali tidak menunjukkan ketertarikannya. Mereka tidak menanggapi apapun karena mereka menjadikan diri mereka sebagai sentral atas apapun sehingga mahasiswa negara lain dirasa wajar mengetahui budaya mereka namun mereka tidak perlu mengetahui tentang negara lain. Mungkin itu juga dirasakan mahasiswa asal Afrika yang dengan terang-terangan mengatakan kemuakannya atas media Inggris yang secara jor-joran melabelkan Afrika sebagai negara miskin, padahal Afrika tengah bertumbuh secara ekonomi. Apa tanggapan mahasiswa lainnya ? Mereka diam karena mungkin saja bagi mereka; tidak peduli dengan yang mereka dengar, mereka sudah cukup puas dengan label mereka yakni Afrika miskin, Indonesia terbelakang.



Hal itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali dan terus terang itu mulai meresahkan saya. Jadi saya datangi dosen dan mengatakan apa yang saya alami. Dosen ini dengan simpatik mengatakan kasus yang saya alami adalah kasus biasa yang ditemui mahasiswa internasional. Kampus Sussex yang termasuk kampus peringkat 150 di antara kampus lainnya di seluruh dunia versi Times Higher Education Magazine sedang berusaha keras bagaimana agar mahasiswa Inggris bisa berbaur dan tidak terlalu mengadang-adang negaranya sendiri karena konsep dari kampus internasional justru ialah memperkaya kampus dengan pemikiran dan konsep-konsep original dari negara asal tiap mahasiswa sehingga kampus akan menghasilkan kematangan inteektual dan kaya warna.



Namun usaha pihak kampus ternyata juga masih tingkat rendah. Saya masih ingat sekali convenor pertama saya di jurusan Journalism and Media Studies berasal dari Vietnam. Adalah pemandangan biasa melihat teman-teman sekelas saya yang terkadang berbisik-bisik, tertawa kecil tiap kali dosen tersebut berbicara dengan aksen Vietnamnya yang masih kentara.



Padahal sang dosen telah menerima surat penghargaan dan lisensi yang menyatakan berkompeten untuk mengajar di tingkat dunia dari dua negara yang berbeda yakni pertama dari negara Australia dan Inggris. Surat ini bukan surat sembarangan karena sang dosen harus membuktikann kompetensinya didepan komite negara bersangkutan. Jadi seharusnya tidak ada yang salah dengan ‘mother tongue”



Selain daripada itu, jika saya berusaha keras membiasakan diri dengan aksen Inggris yang berat; yang jauh berbeda dari cara pengucapan yang saya ketahui di kamus bahasa Inggris terbitan Oxord; lantas mengapa mereka tidak belajar mengadaptasi sedikit saja “mother tongue” dosen mereka. Simpelnya karena mereka telah melabelkan diri mereka sebagai bangsa superior.



Hal yang sama juga terjadi ketika saya maupun teman-teman saya yang berasal dari India dan China ikut berdiskusi dalam kelas. Para mahasiswa Inggris ini, tertawa kecil, berbisik-bisik dan sama sekali tidak menunjukkan sikap penghormatan atas pendapat yang sedang diberikan rekannya. India memang punya aksen India yang kuat meski bahasa Inggris mereka selancar air. China juga begitu dan tentu saja saya dengan lidah saya yang kadang batak bercampur Melayu. Kami (mahasiswa internasional) tentu saja memiliki "mother tongue" yang berbeda, tidak peduli selancar apapun kami berbicara dalam bahasa Inggris.



Sampai suatu hari, usai saya berbicara di dalam kelas; mereka tertawa lebih keras dari yang seharusnya; leher saya langsung kaku mengejang. Harga diri saya merasa sudah terinjak-injak parah, jadi ketika kelas usai saya datangi mereka.



“What did you laughing on me ? Something wrong what I were saying ? Please tell me, I want to know and willing to improve ?”



Dua gadis pirang tersebut menggeleng, “No, nothing wrong,”



“So, Why did you laughing when I were talking in class,”



Dua gadis itu ikutan menegang. Mereka pasti bisa melihat raut muka saya yang benar-benar ingin muntah didepannya.



Dan saya hanya bilang begini,” I am not an idiot . Yes, I cannot speak English fluently and have limited words but compare to you, you have nothing, Even one single word to express how are you in Indonesia language, I bet, you do not know. So, please respect people, at least in the class. I paid more than you,”



Kalimat yang saya ucapkan ternyata memiliki pengaruh karena dalam seminar-seminar berikutnya mereka menunjukkan sikap yang lebih baik.



Namun insiden tersebut tidak lantas mengubah cara pandang mereka. Tapi saya juga tidak peduli lagi. Dulu ketika saya tidak diundang party atau sekedar hang out bareng usai kelas, saya sedih, merasa tertekan, dikucilkan, dan tidak dianggap. Tapi itu dulu, toh bagi saya sekarang ini mereka hanyalah anak kecil , yang baru tamat kuliah bachelor, sulit mendapat kerja di Inggris dengan gelar minim begitu dan memilih sekolah lagi dengan modal pinjaman uang ke pemerintah Inggris. Saya membuat alasan tersebut untuk membuat suasana hati saya lebih baik haha.



Perlu waktu yang lama untuk membuat saya akhirnya menyadari kalau saya sudah cukup berusaha dan tidak perlu berusaha lagi untuk menjadi diterima dan bagian dari lingkungan pergaulan di kelas. Bahkan kini setelah seluruh kelas regular saya selesai dan tinggal disertasi, saya tidak memiliki saya helai foto pun bersama teman-teman sekelas (karena memang mereka tidak pernah mengganggap saya ada). Saya hanya memiliki foto bersama teman-teman India, Turki, China, Jepang dan Afrika.



Pertanyaanya, apakah saya membenci mereka ? Saya pengen bilang tidak. Tapi saya harus jujur..yah, saya tidak suka sikap mereka. Saya tidak suka dianggap tidak ada.



Pengalaman di atas dan beberapa pengalaman bullying yang saya alami secara langsung di kampus membuat saya bisa merasakan empati mendalam mengapa masih saja ada siswa yang melakukan penembakan atas siswa lainnya. Saya harus katakan sangat tidak menyenangkan ADA DI KELAS NAMUN TIDAK PERNAH DIANGGAP ADA.



Sekolah memang menjadi sarang para bully boys/girls kejam yang tak tanggung-tanggung akan membunuh setiap orang yang berbeda dari mereka. Cara kerjanya efektif dan berlangsung pelan tapi pasti. Bullying membunuh tanpa senjata,mungkin tanpa sentuhan fisik dan mungkin tak perlu kata-kata.



Saya bisa lolos tidak menjadi pelaku penembakan karena saya sudah dewasa dan sudah bisa menentukan sikap saja atas mereka. Saya juga tidak perlu merasa harus diterima dalam lingkungan di kampus karena di luar kampus, toh jauh lebih menyenangkan seperti yang saya kisahkan dalam link ini http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/09/kuliah-dan-kerja-sosial-di-inggris/


Namun bagaimana dengan siswa yang remaja, yang bagi mereka, rasa penerimaan akan rekan sebaya lebih penting dari apapun sehingga bisa ditebak arah yang mereka pilih ketika mereka tidak kunjung dianggap ada.



Saya bayangkan seperti saya yang usai di bully di sekolah, pulang ke rumah, masuk ke You Tube mendengarkan lagu-lagu keras Lady Gaga yang penuh pemberontakan atau main games yang isinya pertempuran memakai senjata api dan yang kalau berhasil menembak musuh maka akan keluar kalimat, YOU ARE DEATH MAN.



Bayangkan saya kembali lagi ke sekolah, ditertawakan lagi, dan tidak peduli seperti apapun pencapaian saya di kelas, saya tetap tidak dianggap. Semua isi kelas sibuk membicarakan party tadi malam dan saya ternyata satu-satunya siswa yang tidak ikut dan sekali lagi DIANGGAP SETAN ATAU PATUNG. Dan saya pulang ke rumah mendengarkan Lady Gaga lagi dan melampiaskan emosi saya dengan menembaki musuh-musuh dalam games dan berulang-ulang mendengar kalimat, “YOU ARE DEATH MEN,”



Dan kemudian pada satu titik, saya siap melakukannya. Saya tinggal klik ke internet mencari senjata yang bisa saya dapatkan tanpa prosedur yang sulit dan esoknya membawa senjata tersebut ke sekolah.



Saya bayangkan- sekali lagi saya TIDAK DIANGGAP, namun senjata dalam tas saya memberi saya rasa perasaan yang tidak pernah saya alami. Kali ini saya merasa sayalah yang akan memegang kendali. Tidak lagi mereka dan bisa ditebak…hanya tinggal menunggu waktu, senjata itu siap diletuskan.





Sayangnya, meski kasus penembakan tersebut menurut saya mewakili jeritan permintaan tolong korban bully; sekali lagi pelaku juga dibully melalui label yang dilekatkan masyarakat dan media. Media memberi label gila, broken home, tak beres dll pada pelaku yang sebenarnya juga adalah korban dari rekan sebaya mereka. Masyarakat dan media juga dengan cepat larut dalam empati terhadap korban, keluarga korban dan sekali lagi memaki-maki si pelaku. Namun pernahkah anda bertanya, kata-kata atau tanpa kata-kata yang dilancarkan para bully boys/girls ini jauh lebih mematikan dan lebih sakit (karena prosesnya yang berlahan), dibandingkan dengan sebuah peluru yang ditembakkan?




Well, dunia ini memang sudah rusak. Orang mudah menghakimi dari tampilan luar. Orang senang melakukan pelabelan akan orang lain. Orang lebih suka menjadi sama asal mendapatkan penerimaan. Itulah sebabnya kurus, tinggi dan putih memiliki label tingkat tinggi daripada gemuk, pendek dan hitam. Padahal jelas-jelas jika tidak ada gemuk, pendek dan hitam; kita tidak akan pernah tahu apa itu kurus, tinggi dan putih.





Stop Bullying !

Comments

Popular posts from this blog

Kepada rekan sevisi (cont: ayo donasi ke Israel)

Medan, 08 September 2008 Kepada : Teman sevisi Salam kegerakan, Nama saya Novita Sianipar. Panggil saya Vita. Saat ini saya mendapat undangan untuk mengikuti konferensi internasional (All Nations Convocation Jerusalem/ ANCJ) di Israel mulai tanggal 21 September hingga 13 Oktober 2008. Saya memperoleh undangan ini dari rekan saya Miss X (maaf nama dirahasiakan), yang juga volunteer di JHOPFAN (Jerusalem House of Prayer for All Nations) di Israel. Dia merupakan staff disana pada konferensi sebelumnya. Beliau merekomendasikan nama saya sebagai salah satu volunteer untuk kawasan Asia. Saya merupakan satu-satunya volunteer asal Indonesia yang bakal bertugas di konferensi itu. Tugas saya dalam acara tersebut adalah menyambut para delegasi dari seluruh dunia khususnya dari Asia dan memfasilitasi kebutuhan mereka dalam acara tersebut. Selain itu saya mendapat tambahan tugas dibagian publikasi dan media. Adalah penting jika Indonesia mengirimkan volunteer perwakilannya di ANCJ di Israel. Saat i...

Masih cemas

Aku berusaha untuk konsentrasi menyelesaikan essay tapi pikiran selalu saja berlari ingin pulang dan memeluk mama. Seperti apapun yang kuupayakan, tetap saja aku nggak bisa menghalau rasa cemas ini. Aku takut...........

Berani mencinta berani disakiti

Benci dan kemarahan hanyalah dua komponen yang menyerang ganas kepada mereka yang dipercaya namun merusak kepercayaan itu. Benci yang kata orang benar-benar cinta sebenarnya menunjukkan defenisi yang benar bahwa benci hanya bisa dilampiaskan  kepada orang yang benar-benar kita cintai haha. Kemarin aku menonton sebuah FTV, Si tokoh wanita bilang, "Aku tidak ingin disakiti, makanya aku tidak ingin mencintainya. " Lantas, si tokoh pria mengatakan, "Kalau kau berani mencintai, kau sedang memberi peluang untuk disakiti." Cinta dan rasa sakit hati nampaknya memang satu paket. Itulah sebabnya kitab Amsal juga menuliskannya dengan jelas bahwa orang yang paling berpeluang menyakitimu adalah orang yang paling kamu cinta dan percayai. Jadi jika memang satu paket, tentu kalimat bijak yang bisa dibentuk ialah, berani mencinta berani disakiti hahahahaha..Mengerikan.