Ini malam terakhir aku tidur di kamarku sendiri di Medan. Sungguh menyesakkan dada momen ini. Aku hanya bisa melihat dan mendesah, ini pilihan yang tidak mudah tapi aku harus melakukannya.
Bapak dan mama memberiku uang meski sejak awal aku menolak habis-habisan. Mereka memaksa dengan alasan yang biasa dilontarkan para orang tua di belahan dunia manapun. Aih, semakin sesak dada ini.
Malam ini aku juga menemani bapak sebentar menonton pertandingan sepak bola. Meski tidak mengerti, tak apalah asal bisa dekat bapak sebelum aku berangkat. Sedangkan mama, dia ada tepat di depan pintu kamarku melipat pakaian yang aku yakin sudah terlipat.
Aku tidak sanggup bicara apapun. Terlalu banyak perpisahan hari ini.
Sore tadi pun, aku mengucapkan kata perpisahan pada Kak Deti dan Jakob. Aku memegang jaket kak Deti kuat-kuat. Tak sanggup aku bicara. Kak Deti terus saja bicara. Semakin lama semakin cepat dan tak beraturan. Dia cerita soal De Gaulle - bandara Paris, Narita-bandara Jepang dan musim yang akan kulalui. Dia terus saja berkicau sementara aku terus memegang jaketnya kuat-kuat.
Dia berhenti sebentar. Jeda yang panjang.
"Hanya 3 bulan saja dan kau akan kembali,"katanya
"Tapi itu masa yang menentukan, andai aku bisa menpackmu dan masukkan ke koper,"
"Anak bodoh! Tentu saja nggak bisa,"
________________________________________________________________
Aku memang kemudian berhasil memaksa tanganku melepaskan jaketnya. Aku buru-buru menciumnya dan naik ke angkot sebelum dia melihatku menangis tak berdaya. Dia masih di tepi jalan bahkan ketika angkotku sudah beberapa meter dari posisi semula. Kakak bodoh, semua orang tahu, tentu saja kau nggak bisa menghentikan angkotku dengan tatapan matamu.
________________________________________________________________
Perpisahan dengan Jakob juga mengharukan. Entah kapan kami akan bertemu kembali. Bulan Februari dia harus sudah keluar dari Indonesia. Visanya sudah habis. Dia harus kembali ke Zurich.
Dia menyanyikan bagiku lagu jerman untuk bayi yang baru lahir.Meski tiap kali bertemu, aku membuatnya menyanyikan lagu itu; tetap saja rasanya seperti pertama kali aku mendengarnya. Aku sangat menyukai lagu itu dan aku sangat senang Jakob mau aja menyanyikannya untukku berkali-kali.
Jakob memang tidak mengucapkan kata perpisahan. Menurutnya imel dan telpon bisa menjembatani kami. Entahlah. Aku tidak yakin, aku cukup sabar dengan itu.
Jadi aku hanya menatapnya dan dia membalasnya dengan senyuman. Hatiku makin nelangsa. Aih, aku nggak suka perasaan ini.Perpisahan yang menyedihkan.
---------------------------------------------------------
Semoga besok perasaanku sudah baikan....
Bapak dan mama memberiku uang meski sejak awal aku menolak habis-habisan. Mereka memaksa dengan alasan yang biasa dilontarkan para orang tua di belahan dunia manapun. Aih, semakin sesak dada ini.
Malam ini aku juga menemani bapak sebentar menonton pertandingan sepak bola. Meski tidak mengerti, tak apalah asal bisa dekat bapak sebelum aku berangkat. Sedangkan mama, dia ada tepat di depan pintu kamarku melipat pakaian yang aku yakin sudah terlipat.
Aku tidak sanggup bicara apapun. Terlalu banyak perpisahan hari ini.
Sore tadi pun, aku mengucapkan kata perpisahan pada Kak Deti dan Jakob. Aku memegang jaket kak Deti kuat-kuat. Tak sanggup aku bicara. Kak Deti terus saja bicara. Semakin lama semakin cepat dan tak beraturan. Dia cerita soal De Gaulle - bandara Paris, Narita-bandara Jepang dan musim yang akan kulalui. Dia terus saja berkicau sementara aku terus memegang jaketnya kuat-kuat.
Dia berhenti sebentar. Jeda yang panjang.
"Hanya 3 bulan saja dan kau akan kembali,"katanya
"Tapi itu masa yang menentukan, andai aku bisa menpackmu dan masukkan ke koper,"
"Anak bodoh! Tentu saja nggak bisa,"
________________________________________________________________
Aku memang kemudian berhasil memaksa tanganku melepaskan jaketnya. Aku buru-buru menciumnya dan naik ke angkot sebelum dia melihatku menangis tak berdaya. Dia masih di tepi jalan bahkan ketika angkotku sudah beberapa meter dari posisi semula. Kakak bodoh, semua orang tahu, tentu saja kau nggak bisa menghentikan angkotku dengan tatapan matamu.
________________________________________________________________
Perpisahan dengan Jakob juga mengharukan. Entah kapan kami akan bertemu kembali. Bulan Februari dia harus sudah keluar dari Indonesia. Visanya sudah habis. Dia harus kembali ke Zurich.
Dia menyanyikan bagiku lagu jerman untuk bayi yang baru lahir.Meski tiap kali bertemu, aku membuatnya menyanyikan lagu itu; tetap saja rasanya seperti pertama kali aku mendengarnya. Aku sangat menyukai lagu itu dan aku sangat senang Jakob mau aja menyanyikannya untukku berkali-kali.
Jakob memang tidak mengucapkan kata perpisahan. Menurutnya imel dan telpon bisa menjembatani kami. Entahlah. Aku tidak yakin, aku cukup sabar dengan itu.
Jadi aku hanya menatapnya dan dia membalasnya dengan senyuman. Hatiku makin nelangsa. Aih, aku nggak suka perasaan ini.Perpisahan yang menyedihkan.
---------------------------------------------------------
Semoga besok perasaanku sudah baikan....
Comments