Berita Yahoo menyatakan kalau milter Amerika Serikat tidak mengizinkan kaum homo menjadi anggota militer. Keputusan ini seakan membuka tabir ketidaksetaran kesempatan di negara adidaya yang mengklaim semua orang adalah sama dan sederajat. Perlukah mempertanyakan pilihan seksual seseorang ?
Sama seperti pekerjaan lainnya, kemiliteran juga memliki sejumlah syarat yang harus dilalui sebelum seseorang terikat dalam kelembagaan tersebut. Salah satunya adalah yang berkaitan dengan fiisik.
Lari yang cepat, memanjat dinding dengan hanya menggunakan dua tangan, hingga sit up memang menjadi bagian tidak terelakkan yang harus mampu ditaklukan sebelum bergabung. Namun tentu saja seorang homoseksual tetap bisa memenuhi syarat itu. Kemampuan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin terlebih oleh pilihan seksualnya. Jika persyaratan homo atau tidak diberlakukan, sebenarnya telah terjadi bias gender.
Sama seperti jenis pekerjaan lainnya, kemiliteran seharusnya menilai seseorang dari kemampuannya bukan berdasarkan gender. Seharusnya yang perlu diperhatikan adalah apakah calon militer tersebut bisa memenuhi dua syarat utama yakni persyaratan secara fisik dan intelektual. Jika kedua hal ini terpenuhi maka persoalan homo tidak perlu dipertanyakan lagi.
Saya secara pribadi tidak menyukai segala hal yang berkaitan dengan homoseksual tapi saya belajar untuk menghargai pilihan hidup orang lain. Menjadi homo atau tidak bagi saya sama seperti halnya menjadi pemeluk agama X atau Y. Ini hanya merupakan pilihan. Jika dikaitkan dengan pekerjaan, sangat mengelikan kalau kemudian ada anggapan kaum homo tidak sesuai atau tidak mampu bekerja dalam bidang tertentu. Bahwa misalnya kaum homo hanya cocok bekerja di dalam ruangan daripada di ruangan terbuka.
Sebagai jurnalis, saya justru menemukan fakta bahwa kaum homo menjadi kaum yang lebih produktif dibandingkan heterogen. Mereka memiliki kecenderungan lebih cermat dan terstruktur dalam melakukan pekerjaannya. Saya malah mendapati kaum homo ini justru adalah pemimpin yang baik dalam pekerjaannya. Mereka lebih peka sekaligus tegas dalam mengambil keputusan. Campuran antara laki-laki dan perempuan pada saat yang bersamaan membuat kaum ini menjadi kaum yang tahu menempatkan diri dalam kondisi apapun.
Kesimpulan saya hanya satu, jika seseorang mampu memenuhi syarat yang diminta oleh suatu pekerjaan, maka seharusnya orang tersebut mendapatkannya. Jika tidak maka peradaban manusia akan kembali ke zaman purba dimana manusia ditentukan dari jenis kelaminnya, warna kulitnya dan agamanya.
Sama seperti pekerjaan lainnya, kemiliteran juga memliki sejumlah syarat yang harus dilalui sebelum seseorang terikat dalam kelembagaan tersebut. Salah satunya adalah yang berkaitan dengan fiisik.
Lari yang cepat, memanjat dinding dengan hanya menggunakan dua tangan, hingga sit up memang menjadi bagian tidak terelakkan yang harus mampu ditaklukan sebelum bergabung. Namun tentu saja seorang homoseksual tetap bisa memenuhi syarat itu. Kemampuan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin terlebih oleh pilihan seksualnya. Jika persyaratan homo atau tidak diberlakukan, sebenarnya telah terjadi bias gender.
Sama seperti jenis pekerjaan lainnya, kemiliteran seharusnya menilai seseorang dari kemampuannya bukan berdasarkan gender. Seharusnya yang perlu diperhatikan adalah apakah calon militer tersebut bisa memenuhi dua syarat utama yakni persyaratan secara fisik dan intelektual. Jika kedua hal ini terpenuhi maka persoalan homo tidak perlu dipertanyakan lagi.
Saya secara pribadi tidak menyukai segala hal yang berkaitan dengan homoseksual tapi saya belajar untuk menghargai pilihan hidup orang lain. Menjadi homo atau tidak bagi saya sama seperti halnya menjadi pemeluk agama X atau Y. Ini hanya merupakan pilihan. Jika dikaitkan dengan pekerjaan, sangat mengelikan kalau kemudian ada anggapan kaum homo tidak sesuai atau tidak mampu bekerja dalam bidang tertentu. Bahwa misalnya kaum homo hanya cocok bekerja di dalam ruangan daripada di ruangan terbuka.
Sebagai jurnalis, saya justru menemukan fakta bahwa kaum homo menjadi kaum yang lebih produktif dibandingkan heterogen. Mereka memiliki kecenderungan lebih cermat dan terstruktur dalam melakukan pekerjaannya. Saya malah mendapati kaum homo ini justru adalah pemimpin yang baik dalam pekerjaannya. Mereka lebih peka sekaligus tegas dalam mengambil keputusan. Campuran antara laki-laki dan perempuan pada saat yang bersamaan membuat kaum ini menjadi kaum yang tahu menempatkan diri dalam kondisi apapun.
Kesimpulan saya hanya satu, jika seseorang mampu memenuhi syarat yang diminta oleh suatu pekerjaan, maka seharusnya orang tersebut mendapatkannya. Jika tidak maka peradaban manusia akan kembali ke zaman purba dimana manusia ditentukan dari jenis kelaminnya, warna kulitnya dan agamanya.
Comments