“Berapa kali kak, aku menjenguk bapak kakak? “tanyaku pelan. Di ujung telpon, aku bisa membayangkan kak Vivian (bukan nama sebenarnya) mencoba mengingat. Aku juga mencoba mengingat meski ingatan yang terekam hanyalah sekali saat lebaran kemarin; aku datang ke rumah kak Vivian dan menjenguk ayah (sebutan untuk bapak Kak Vivian).
“Cuma sekali,”jawabnya kemudian. Aku tertawa dan dia juga.
Benar itu. Hanya sekali sejak bapaknya sama sekali terbaring di tempat tidur selama 3 tahun terakhir.
Orang seperti apa sih aku ? Bagaimana mungkin aku menyebutnya kakak tapi aku hanya bisa ada untuk dia sekali. Itupun karena kebetulan lebaran. Menyedihkan.
Tapi inipun menjadi perenunganku setelah aku juga diabaikan oleh mereka yang mengaku sahabat. Selama 21 hari bapak di rumah sakit, mereka yang kuanggap sahabat tidak datang menjenguk. Aku marah, tidak terima tapi tidak menggugat karena aku pun ternyata tidak lebih baik dari mereka. Toh aku mengabaikan kak Vivian selama ini.
Aku nggak menuntut banyak yah dari mereka yang kuanggap sahabat. Aku hanya ingin yah setidaknya sekali aja; okelah dua kali saja, mereka mau meluangkan waktu dan menemani aku. Nggak perlu bawa apa-apa. Nggak perlu juga kata-kata hiburan. Aku hanya ingin seseorang duduk menemaniku di kursi rumah sakit yang dingin itu.
Ternyata memang benar, hanya kejadian buruk yang membuat kita tahu siapa yang patut kita sebut sahabat.
“Cuma sekali,”jawabnya kemudian. Aku tertawa dan dia juga.
Benar itu. Hanya sekali sejak bapaknya sama sekali terbaring di tempat tidur selama 3 tahun terakhir.
Orang seperti apa sih aku ? Bagaimana mungkin aku menyebutnya kakak tapi aku hanya bisa ada untuk dia sekali. Itupun karena kebetulan lebaran. Menyedihkan.
Tapi inipun menjadi perenunganku setelah aku juga diabaikan oleh mereka yang mengaku sahabat. Selama 21 hari bapak di rumah sakit, mereka yang kuanggap sahabat tidak datang menjenguk. Aku marah, tidak terima tapi tidak menggugat karena aku pun ternyata tidak lebih baik dari mereka. Toh aku mengabaikan kak Vivian selama ini.
Aku nggak menuntut banyak yah dari mereka yang kuanggap sahabat. Aku hanya ingin yah setidaknya sekali aja; okelah dua kali saja, mereka mau meluangkan waktu dan menemani aku. Nggak perlu bawa apa-apa. Nggak perlu juga kata-kata hiburan. Aku hanya ingin seseorang duduk menemaniku di kursi rumah sakit yang dingin itu.
Ternyata memang benar, hanya kejadian buruk yang membuat kita tahu siapa yang patut kita sebut sahabat.
Comments