Ini adalah cerita yang disponsori oleh Cannon hahaha…
Well, ini ceritanya…
Sabtu kemarin aku dan kak Deti dengan gagah perkasa dan niat yang benar pergi ke mesjid raya untuk belajar motret. Karena niatnya belajar jadi yang kubawa tentu saja cuman kamera dan buku manual Cannon. Karena niatnya belajar juga, aku datang tanpa bedakan, hanya pakai jins hitam, kaos oblong putih dan sandal jepit. Sedangkan kak Deti, yah dia masih mengenakan pakaian kantornya. Tapi kami nggak peduli, toh bukan kami yang jadi objek foto.
So sepanjang jalan- aku dan dia pakai sepeda motor masing-masing-bersisian terus saja bercerita sampai di simpang jalan Sudirman, lampu yang tadinya hijau berganti ke kuning dan menuju merah. Kak Deti memilih menerobos tapi aku memilih untuk berhenti. Sialnya aku berhenti sedikit melanggar batas garis putih yang melintang di jalan. Tapi aku tidak menyadarinya. Sampai kemudian seorang polisi datang dan menahanku.
“Salahku apa pak? “tanyaku sedikit sebel. Kok aku ditahan. Dia menyerahkan selembar kertas laminating bertuliskan belasan peraturan lalu lintas. Ternyata sodara-sodara, aku ditahan karena berhenti di garis putih melintang. Mukaku merah karena aku merasa aku lebih baik dari kak Deti. Dia menerobos lampu merah lho sedangkan aku hanya menyentuh sedikit garis putih melintang itu. Tapi karena ada pasalnya, yah aku minta maaf.
“Aku minta maaf pak. Aku nggak tahu, “
“Nah begitu kan bagus. Saya suka kalau orang-orang Medan menyadari kesalahannya. “
Enak aja orang Medan. Polisi bego, aku nih orang Deli Serdang. STNK dan SIM di tangan, apa dia nggak bisa baca; tertera disitu domisiliku Deli Serdang bukan Medan.
“Nih, surat-surat ibu,”
Aku pikir selesai sampai disitu saja, nyatanya polisi menceramahiku lagi. Bilang orang Medan begini, orang Medan begitu. Aku sebel banget karena pertama aku bukan orang Medan dan kedua aku bukan jemaatnya. Lagipula ini Sabtu, besok Minggu dan baru dengar khotbah.
“Yah sudah kalau begitu, lain kali saya terebos saja lampu merahnya daripada distop bapak, “kataku mangkel.
Eh si polisi melotot, “Ibu melawan petugas yah, Sini STNKnya. Duduk ibu,” Dia benaran marah.
“Habisnya bapak khotbah mulu. Saya kan melanggar apa yang saya tidak tahu tapi bapak khotbahnya panjang kayak di gereja,”
Polisi itu nggak jelas juga dia mo ngakak atau makin marah karena mukanya memerah dan terlihat bingung harus bilang apa lagi. Yah, aku manfaatin saja kesempatan itu untuk cepat-cepat pergi. Masih terdengar sih dia teriak-teriak tapi aku nggak peduli. Aku langsung cabut huahahaha…
Nah, gitu sampai di mesdid raya, aku dan kak Deti langsung nguprek-nguprek kamera.
“Ampun Nov, aku lupa,”seru kak Deti. Wah, aku tahu dia lupa apa.
“Aku lupa bawa batrai kamera, “
Yah begitu itu deh, kalau fotografer amatirin huahahaha…
Lagi asik, datang seorang pria keling dan entah mengapa bilang begini,”duduk-duduk di mesjid raya, merenung nestapa hidup ini karena hidup tanpa cinta bla..bla..bla…” terus dia pergi. Aku dan kak Deti saling pandang dan begong dan sepakat itu bukan kita. Pria itu sedang menceritakan hidupnya yang nestapa haha…
Kita baik-baik saja tuh…
Kak Deti baca buku manual sedangkan aku mulai motret dan ini dia pengganggu lainnya.
“Lagi motret yah dek?”Pria itu emang sejak dari pintu gerbang mesjid sudah sok ramah gitu menyapa kita.
“Enggak. Ini lagi makan, “balasku sambil tetap motret. Pria itu bengong. Yah biaran sajalah, dah tau motret nanya lagi.
“Tahun 2010, cat masjid ini akan diganti,”katanya.
“Oh ya, jadi warna apa ? Pinky ? “
“Warna hijau. Tetap warna hijau ini,”balasnya serius.
“Kenapa mesti hijau sih? Emang ga ada warna lain apa? Yah ungu gitu,”
“Sejak saya lahir warnanya cuman itu, yah hijau. Nggak pernah warna lain,”
Aku berhenti motret dan menatap serius pria disebelahku, “Emang tinggal dimana ? Di mesjid ? “ Nggak mungkin juga kan tinggal di mesjid, secara gereja yang lebih banyak barang-barangnya aja ga dijadikan tempat tinggal.
“Iyah, saya tinggal di atas menara mesjid lajang itu karena saya masih lajang,”jawabnya dengan penekanan kuat pada kata lajang. Alamak!!! Sekali-kalinya ada orang naksir kok penunggu mesjid sih hahaha…
Bahasa Inggris kak Deti jago, so dia yang terjemahin buku manual aku yang praktekkan. Setelah berkali-kali dipraktekkan di halaman mesjid dan nggak juga nampak bedanya antara memakai auto fokus dengan TV atau AV, akhirnya kami memilih pindah lokasi motret ke KUBURAN. Iyah benar! Kami ke lokasi kuburan kesultanan Deli.
“Assalamuaikum…”salamku.
“Bukan begitu Nov, tapi assalamualaikum yah ahli kubur…”
“Assalamualaikum yah ahli kubur…”
“Trus nanti mereka balasnya…”
Aku berjengit, apa mereka akan membalas salamku. Gawat! Lari…Tapi Kak Deti tertawa disebelahku. Dasar nakal!
Ternyata motret di areal pengkuburan asik juga. Meski kak Deti tampak kurang menikmati hahaha…Aku sih terbiasa karena tugasku tiap kali ada yang meninggal di keluarga besar adalah seksi dokumentasi.
Setelah jeprat jepret mencoba segala teknik yang dianjurkan dalam buku, diriku yang kemudian menjadi objek foto. Mulai sok mo ngambil fokus di wajah sedangkan gerbang mesjid diblurkan hingga bergaya kayak orang India – dibalik balik pohon hahaha…
Hm, aku menikmati banget hunting foto bareng Kak Deti termasuk makan minum depan kolam Deli. Makasih yah kak. It’s a sweet moment lho…
Well, ini ceritanya…
Sabtu kemarin aku dan kak Deti dengan gagah perkasa dan niat yang benar pergi ke mesjid raya untuk belajar motret. Karena niatnya belajar jadi yang kubawa tentu saja cuman kamera dan buku manual Cannon. Karena niatnya belajar juga, aku datang tanpa bedakan, hanya pakai jins hitam, kaos oblong putih dan sandal jepit. Sedangkan kak Deti, yah dia masih mengenakan pakaian kantornya. Tapi kami nggak peduli, toh bukan kami yang jadi objek foto.
So sepanjang jalan- aku dan dia pakai sepeda motor masing-masing-bersisian terus saja bercerita sampai di simpang jalan Sudirman, lampu yang tadinya hijau berganti ke kuning dan menuju merah. Kak Deti memilih menerobos tapi aku memilih untuk berhenti. Sialnya aku berhenti sedikit melanggar batas garis putih yang melintang di jalan. Tapi aku tidak menyadarinya. Sampai kemudian seorang polisi datang dan menahanku.
“Salahku apa pak? “tanyaku sedikit sebel. Kok aku ditahan. Dia menyerahkan selembar kertas laminating bertuliskan belasan peraturan lalu lintas. Ternyata sodara-sodara, aku ditahan karena berhenti di garis putih melintang. Mukaku merah karena aku merasa aku lebih baik dari kak Deti. Dia menerobos lampu merah lho sedangkan aku hanya menyentuh sedikit garis putih melintang itu. Tapi karena ada pasalnya, yah aku minta maaf.
“Aku minta maaf pak. Aku nggak tahu, “
“Nah begitu kan bagus. Saya suka kalau orang-orang Medan menyadari kesalahannya. “
Enak aja orang Medan. Polisi bego, aku nih orang Deli Serdang. STNK dan SIM di tangan, apa dia nggak bisa baca; tertera disitu domisiliku Deli Serdang bukan Medan.
“Nih, surat-surat ibu,”
Aku pikir selesai sampai disitu saja, nyatanya polisi menceramahiku lagi. Bilang orang Medan begini, orang Medan begitu. Aku sebel banget karena pertama aku bukan orang Medan dan kedua aku bukan jemaatnya. Lagipula ini Sabtu, besok Minggu dan baru dengar khotbah.
“Yah sudah kalau begitu, lain kali saya terebos saja lampu merahnya daripada distop bapak, “kataku mangkel.
Eh si polisi melotot, “Ibu melawan petugas yah, Sini STNKnya. Duduk ibu,” Dia benaran marah.
“Habisnya bapak khotbah mulu. Saya kan melanggar apa yang saya tidak tahu tapi bapak khotbahnya panjang kayak di gereja,”
Polisi itu nggak jelas juga dia mo ngakak atau makin marah karena mukanya memerah dan terlihat bingung harus bilang apa lagi. Yah, aku manfaatin saja kesempatan itu untuk cepat-cepat pergi. Masih terdengar sih dia teriak-teriak tapi aku nggak peduli. Aku langsung cabut huahahaha…
Nah, gitu sampai di mesdid raya, aku dan kak Deti langsung nguprek-nguprek kamera.
“Ampun Nov, aku lupa,”seru kak Deti. Wah, aku tahu dia lupa apa.
“Aku lupa bawa batrai kamera, “
Yah begitu itu deh, kalau fotografer amatirin huahahaha…
Lagi asik, datang seorang pria keling dan entah mengapa bilang begini,”duduk-duduk di mesjid raya, merenung nestapa hidup ini karena hidup tanpa cinta bla..bla..bla…” terus dia pergi. Aku dan kak Deti saling pandang dan begong dan sepakat itu bukan kita. Pria itu sedang menceritakan hidupnya yang nestapa haha…
Kita baik-baik saja tuh…
Kak Deti baca buku manual sedangkan aku mulai motret dan ini dia pengganggu lainnya.
“Lagi motret yah dek?”Pria itu emang sejak dari pintu gerbang mesjid sudah sok ramah gitu menyapa kita.
“Enggak. Ini lagi makan, “balasku sambil tetap motret. Pria itu bengong. Yah biaran sajalah, dah tau motret nanya lagi.
“Tahun 2010, cat masjid ini akan diganti,”katanya.
“Oh ya, jadi warna apa ? Pinky ? “
“Warna hijau. Tetap warna hijau ini,”balasnya serius.
“Kenapa mesti hijau sih? Emang ga ada warna lain apa? Yah ungu gitu,”
“Sejak saya lahir warnanya cuman itu, yah hijau. Nggak pernah warna lain,”
Aku berhenti motret dan menatap serius pria disebelahku, “Emang tinggal dimana ? Di mesjid ? “ Nggak mungkin juga kan tinggal di mesjid, secara gereja yang lebih banyak barang-barangnya aja ga dijadikan tempat tinggal.
“Iyah, saya tinggal di atas menara mesjid lajang itu karena saya masih lajang,”jawabnya dengan penekanan kuat pada kata lajang. Alamak!!! Sekali-kalinya ada orang naksir kok penunggu mesjid sih hahaha…
Bahasa Inggris kak Deti jago, so dia yang terjemahin buku manual aku yang praktekkan. Setelah berkali-kali dipraktekkan di halaman mesjid dan nggak juga nampak bedanya antara memakai auto fokus dengan TV atau AV, akhirnya kami memilih pindah lokasi motret ke KUBURAN. Iyah benar! Kami ke lokasi kuburan kesultanan Deli.
“Assalamuaikum…”salamku.
“Bukan begitu Nov, tapi assalamualaikum yah ahli kubur…”
“Assalamualaikum yah ahli kubur…”
“Trus nanti mereka balasnya…”
Aku berjengit, apa mereka akan membalas salamku. Gawat! Lari…Tapi Kak Deti tertawa disebelahku. Dasar nakal!
Ternyata motret di areal pengkuburan asik juga. Meski kak Deti tampak kurang menikmati hahaha…Aku sih terbiasa karena tugasku tiap kali ada yang meninggal di keluarga besar adalah seksi dokumentasi.
Setelah jeprat jepret mencoba segala teknik yang dianjurkan dalam buku, diriku yang kemudian menjadi objek foto. Mulai sok mo ngambil fokus di wajah sedangkan gerbang mesjid diblurkan hingga bergaya kayak orang India – dibalik balik pohon hahaha…
Hm, aku menikmati banget hunting foto bareng Kak Deti termasuk makan minum depan kolam Deli. Makasih yah kak. It’s a sweet moment lho…
Comments