Ada anggapan di masyarakat kalau cowok nggak boleh menangis. Ada yang lebih ekstrim mengatakan cowok yang nangis itu perempuan alias banci. Kenapa cowok nggak boleh nangis ? Kenapa kata menangis seakan diperuntukkan bagi kaum perempuan. Apa menangis menunjukkan kelemahan ? kalau begitu hipotesisnya, bisa jadi kesimpulannya perempuan adalah kaum yang lemah.
Awalnya aku juga beranggapan serupa. Apalagi bapak mendidikku seperti mendidik anak laki-laki. Maklumlah anak tunggal. Jadi alih-alih dibelikan boneka, mainan di masa kecilku adalah pistol-pistolan mulai dari pistol air, karet hingga ketapel. Aku juga punya koleksi guli dan bahkan berhasil menjadikan guli sebagai sumber uang jajan sampingan karena guli hasil kemenanganku selalu saja kujual ke pihak yang kalah hihihihihi. Aku juga jago manjat pohon, masuk sungai mencari ikan atau balapan sepeda...
Bapak juga selalu saja mengajarkan padaku agar jangan pernah menangis."Anak bapak nggak boleh nangis. Dunia ini kasar, jadi jangan perlihatkan air matamu,"
Jadi begitulah, dulu aku nggak pernah menangis di depan bapak. NGGAK BOLEH! Kalau bapak memukulku, aku nggak nangis. Paling setelah dipukul aku pura-pura tidur dan menangis tanpa suara diatas bantal. Dalam rekaman masa kecilku, yang kutahu bapakku keras dan tangguh. Sedangkan aku rapuh dan nggak cocok jadi anak bapak (kan aku suka nangis diam-diam meski bapak sudah larang ). Aku merasa gagal jadi anaknya dan itu yang kemudian membuatku nggak bisa dekat dengan bapak.
Hingga suatu masa, aku tidak ingat kapan tepatnya aku melihat bapak menangis. Yang kuingat waktu itu adalah mama terus sama mengomel, sedangkan bapak berusaha menjelaskan sesuatu. Awalnya kuanggap pertengkaran biasa; paling juga kalau bapak udah nggak tahan dengan omelan mama, bapak akan pergi. Waktu itu aku duduk di lorong tengah antara dapur dan ruang tamu. Aku duduk sambil baca. Aku belajar dari pengalaman sebagai anak tunggal bahwa kalau orang tua bertengkar sebaiknya aku berada di area yang mereka lihat sehingga pertengkaran lebih bisa diredam. Biasanya aku akan asik terus baca buku sampai kemudian bapak yang pergi atau mama menyemburkan kemarahannya kepadaku dan bilang,"Kau lagi-sama kau kayak bapakmu; keras kepala". Biasanya perkataan itu menandakan perang berakhir.
Jadi itulah yang kulakukan. Bagiku tidak terlalu masalah menjadi tumbal kemarahan mama atau bapak asal keduanya berhenti bertengkar. Aku nggak suka orang bertengkar. Tepatnya aku nggak suka orang Batak bertengkar hahaha..
Namun waktu itu, mama terus saja mengomel (hm...sudah sekuat tenaga aku mengingat alasannya tapi nggak nemu juga kenapa mereka bertengkar). Aku berusaha menanti momen bapak pergi atau mama menjadikanku tumbalnya. Nyatanya bapak nggak pergi dan juga nggak lagi berusaha mengatakan apapun ke mama. Aku pikir berhenti begitu saja, sampai aku mendengar suara isak dari arah dapur. BAPAK MENANGIS.
Aku kaget. Bingung. Hatiku nggak terima lihat bapak nangis. Yang kutahu bapakku nggak pernah nangis. Yang kutahu bapakku cowok sekali. Yang kutahu bapakku keras dan menangis adalah pantangan baginya.
"Udah ma!UDAH !" seruku kuat sambil berlari memeluk bapak. Awalnya kurasakan penolakan bapak ketika aku berusaha menenangkannya, tapi ketika aku menangis bersamanya, bapak makin menangis terisak-isak. Aku makin kuat memeluk bapak,"Sudah ya pak...Jangan nangis yah pak...Sudah yah pak...Aku minta maaf yah mama marah2 hari ini..Sudah yah pak.."
Bapak mengatakan sesuatu sambil sesengukan. Dia menangis terus,"Bapak udah jelaskan tapi mamamu nggak percaya. Mau bagaimana lagi bapak bilang kalau bapak nggak dipercaya?"
"Iyah pak, Vita tau bapak nggak salah (Padahal waktu itu aku ga tau apa yang mereka ributkan) tapi mama juga ndak salah. Maafin yah pak.."
Kami masih saja berpelukan dan menangis bersama. Nah mungkin mamaku mendengar tangisan kami trus dia keluar dan lanjut ngomel dan malah ikutan nangis..."Kau bela saja terus bapakmu itu. Memanglah kau boru (red: anak perempuan) Sianipar. Ke marga sianipar saja hatimu. Ndak ada yang bela aku. Ndak ada anakku yang bela aku. Mentang-mentang kalian berdua Sianipar.."
Nah, mendengar itu- sebagai anak tunggal - aku menjadi bingung. Tentu saja aku sayang sama mamaku. "Nggak begitu ma, mama kan bisa bilangnya lembut. Aku nggak bela bapak. Anak mama nya aku.."
----------------------------------------------------------------------
Sejak hari itu aku makin sering lihat bapak menangis. Bapak menangis ketika penyakit mama makin parah. Bapak menangis saat inangtua marah-marah padaku karena aku menolak dijodohkan. Bapak menangis saat aku pamitan untuk wawancara beasiswa FORD. Bapak menangis saat melepas kepergianku di bandara menuju Inggris dan hingga saat ini bapak masih menangis di ujung telpon karena menahan rindu.
Semua tangisan bapak yang kudengar sejak di hari pertengkaran itu hingga kini justru membuatku dekat padanya. Tangisan bapak membuatku merasa dibutuhkan, disayang dan diinginkan. Tangisan bapak membuatku melihatnya sebagai sosok manusia biasa dan bukannya batu tanpa perasaan.
Aku senang bapakku bisa menangis. Aku jadi makin sayang padanya
Awalnya aku juga beranggapan serupa. Apalagi bapak mendidikku seperti mendidik anak laki-laki. Maklumlah anak tunggal. Jadi alih-alih dibelikan boneka, mainan di masa kecilku adalah pistol-pistolan mulai dari pistol air, karet hingga ketapel. Aku juga punya koleksi guli dan bahkan berhasil menjadikan guli sebagai sumber uang jajan sampingan karena guli hasil kemenanganku selalu saja kujual ke pihak yang kalah hihihihihi. Aku juga jago manjat pohon, masuk sungai mencari ikan atau balapan sepeda...
Bapak juga selalu saja mengajarkan padaku agar jangan pernah menangis."Anak bapak nggak boleh nangis. Dunia ini kasar, jadi jangan perlihatkan air matamu,"
Jadi begitulah, dulu aku nggak pernah menangis di depan bapak. NGGAK BOLEH! Kalau bapak memukulku, aku nggak nangis. Paling setelah dipukul aku pura-pura tidur dan menangis tanpa suara diatas bantal. Dalam rekaman masa kecilku, yang kutahu bapakku keras dan tangguh. Sedangkan aku rapuh dan nggak cocok jadi anak bapak (kan aku suka nangis diam-diam meski bapak sudah larang ). Aku merasa gagal jadi anaknya dan itu yang kemudian membuatku nggak bisa dekat dengan bapak.
Hingga suatu masa, aku tidak ingat kapan tepatnya aku melihat bapak menangis. Yang kuingat waktu itu adalah mama terus sama mengomel, sedangkan bapak berusaha menjelaskan sesuatu. Awalnya kuanggap pertengkaran biasa; paling juga kalau bapak udah nggak tahan dengan omelan mama, bapak akan pergi. Waktu itu aku duduk di lorong tengah antara dapur dan ruang tamu. Aku duduk sambil baca. Aku belajar dari pengalaman sebagai anak tunggal bahwa kalau orang tua bertengkar sebaiknya aku berada di area yang mereka lihat sehingga pertengkaran lebih bisa diredam. Biasanya aku akan asik terus baca buku sampai kemudian bapak yang pergi atau mama menyemburkan kemarahannya kepadaku dan bilang,"Kau lagi-sama kau kayak bapakmu; keras kepala". Biasanya perkataan itu menandakan perang berakhir.
Jadi itulah yang kulakukan. Bagiku tidak terlalu masalah menjadi tumbal kemarahan mama atau bapak asal keduanya berhenti bertengkar. Aku nggak suka orang bertengkar. Tepatnya aku nggak suka orang Batak bertengkar hahaha..
Namun waktu itu, mama terus saja mengomel (hm...sudah sekuat tenaga aku mengingat alasannya tapi nggak nemu juga kenapa mereka bertengkar). Aku berusaha menanti momen bapak pergi atau mama menjadikanku tumbalnya. Nyatanya bapak nggak pergi dan juga nggak lagi berusaha mengatakan apapun ke mama. Aku pikir berhenti begitu saja, sampai aku mendengar suara isak dari arah dapur. BAPAK MENANGIS.
Aku kaget. Bingung. Hatiku nggak terima lihat bapak nangis. Yang kutahu bapakku nggak pernah nangis. Yang kutahu bapakku cowok sekali. Yang kutahu bapakku keras dan menangis adalah pantangan baginya.
"Udah ma!UDAH !" seruku kuat sambil berlari memeluk bapak. Awalnya kurasakan penolakan bapak ketika aku berusaha menenangkannya, tapi ketika aku menangis bersamanya, bapak makin menangis terisak-isak. Aku makin kuat memeluk bapak,"Sudah ya pak...Jangan nangis yah pak...Sudah yah pak...Aku minta maaf yah mama marah2 hari ini..Sudah yah pak.."
Bapak mengatakan sesuatu sambil sesengukan. Dia menangis terus,"Bapak udah jelaskan tapi mamamu nggak percaya. Mau bagaimana lagi bapak bilang kalau bapak nggak dipercaya?"
"Iyah pak, Vita tau bapak nggak salah (Padahal waktu itu aku ga tau apa yang mereka ributkan) tapi mama juga ndak salah. Maafin yah pak.."
Kami masih saja berpelukan dan menangis bersama. Nah mungkin mamaku mendengar tangisan kami trus dia keluar dan lanjut ngomel dan malah ikutan nangis..."Kau bela saja terus bapakmu itu. Memanglah kau boru (red: anak perempuan) Sianipar. Ke marga sianipar saja hatimu. Ndak ada yang bela aku. Ndak ada anakku yang bela aku. Mentang-mentang kalian berdua Sianipar.."
Nah, mendengar itu- sebagai anak tunggal - aku menjadi bingung. Tentu saja aku sayang sama mamaku. "Nggak begitu ma, mama kan bisa bilangnya lembut. Aku nggak bela bapak. Anak mama nya aku.."
----------------------------------------------------------------------
Sejak hari itu aku makin sering lihat bapak menangis. Bapak menangis ketika penyakit mama makin parah. Bapak menangis saat inangtua marah-marah padaku karena aku menolak dijodohkan. Bapak menangis saat aku pamitan untuk wawancara beasiswa FORD. Bapak menangis saat melepas kepergianku di bandara menuju Inggris dan hingga saat ini bapak masih menangis di ujung telpon karena menahan rindu.
Semua tangisan bapak yang kudengar sejak di hari pertengkaran itu hingga kini justru membuatku dekat padanya. Tangisan bapak membuatku merasa dibutuhkan, disayang dan diinginkan. Tangisan bapak membuatku melihatnya sebagai sosok manusia biasa dan bukannya batu tanpa perasaan.
Aku senang bapakku bisa menangis. Aku jadi makin sayang padanya
Comments