Namanya Zahya. Awalnya kukira namanya Jaya. Yang aku tahu tak banyak nama memakai awalan Z kecuali Zakaria atau Zainuddin. Makanya aku pikir namanya Jaya. Dia tinggi, putih, dan untuk ukuran pria, dia termasuk besar. Ups! Tubuhnya gals bukan yang itu hahahhaahha. Dia suka bola. Dia bahkan membuat lambang chelsea di screen saver hapenya. Dia mengatur sedemikian rupa pola makan dan tidurnya hanya agar dia bisa selalu mengikuti jadwal pertandingan bola. Dia bahkan nggak sanggup nyalain teve sejak kekalahan telak Chelsea di tangan MU. Nggak tahan dengar komentator ngulas kekalahan tim kesayangannya itu. Zahya, pria yang unik. Adrenalinku selalu naik turun menghadapinya. Meski kebanyakan naiknya daripada turunnya, tetap saja bersamanya semua hari bisa berlangsung tak terduga. Bicara dengannya bisa menghabiskan banyak waktu dan aku sering menyesali waktu itu berlalu dengan cepat. Dia selalu berbicara dengan tempo yang cepat dan berapi-api. Dia langsung dengan apa yang dikatakannya tidak peduli orang suka apa tidak dengan yang dikatakannya. Apa yang dihatinya itu yang diucapkannya. Dia dapat membuat orang yakin dengan kemampuannya. Suatu kali ketika aku ke kantornya, aku terpaku sejenak. Sumpe, dia cakep banget dengan kemeja hijau kotak2 yang membalut tubuhnya. Entah dia sadar atau tidak aku berkali-kali melirik ke arahnya. Secara seksual dia menggiurkan. Maksud loe?! Aku pernah sekali waktu nemani dia olah raga di Sabtu pagi di lapangan Merdeka. Hm, sebenarnya dia yang olah raga. Kalo aku mah cuman duduk menunggunya selesai dan ngobrol. Ada sejam lebih juga kami ngobrol tentang kerjaan dia, impian dia dan yah banyak lagi deh. Trus aku pulang, nggak sempat mandi trus pelayanan ke gereja. Semua baik2 saja sampai di waktu yang aku juga nggak tahu kapan, hubungan baik itu berubah. Aku dan dia sering bertengkar untuk hal yang sepele. Aku mulai komplen dengan caranya bicara, tempo suaranya yang berapi-api dan mulai sensitive dengan hal kecil yang terjadi. Dan belakangan ini hubungan baik itu semakin memburuk. Dia menyalahkanku untuk sesuatu yang diluar kontrolku. Sekarang jika dia menghubungi otakku langsung bilang o..o… gawat! O…o…bahaya! Entah mengapa kini dia = masalah Hari ini aku bertanya kepadanya apa yang terjadi. Jawabannya membuatku terpukul dan terpojok. Dia bilang, “ don’t distrub me. “ Aku bertanya lagi dan dia jawab dengan kalimat yang sama plus kata please. Aku mati kata. Aku malu. Aku mungkin salah. Aku mungkin telah sangat menyakiti hatinya. Tapi jika dia tidak mengizinkan aku untuk membalut luka itu, yah sudahlah. Mungkin lebih baik begitu. Tapi sumpe, aku benaran nggak mengerti kenapa dia bilang don’t disturb him. Sepanjang ingatanku aku nggak melakukan apa yang nggak pantas di luar pekerjaanku. Apakah aku salah menangkap sinyal yang dipancarkan atau aku memancarkan bahasa tubuh yang mengisyaratkan yang nggak pantas. Karena jika itu yang terjadi, aku memang bukan saja harus minta maaf tapi harus bertobat. Well, hari ini aku kehilanganmu. Hari yang benar2 menguras emosiku. Makasih yah buat semuanya. Juga buat buku Laskar Pelanginya. |
Aku berusaha untuk konsentrasi menyelesaikan essay tapi pikiran selalu saja berlari ingin pulang dan memeluk mama. Seperti apapun yang kuupayakan, tetap saja aku nggak bisa menghalau rasa cemas ini.
Aku takut...........
Comments