Aku kagum pada ibuku. Wanita yang telah rela rahimnya kutempati dan mengurusku hingga kini, tentulah wanita perkasa yang baik hati. Mungkin saja dia adalah malaikat. Ah tidak, dia bukan malaikat. Dia hanya perempuan biasa.
Ibuku penuh dengan kekurangan. Dia bukan tipe ibu yang bisa kau banggakan di depan teman-temanmu, rekan kantormu atau pacar barumu. Tapi dia tetap ibuku.
Suatu ketika aku membawa ibuku ke mall. Aku ingin membelikannya sepatu. Dengan hati-hati aku menyorongnkan sepatu bertumit rendah ke kakinya yang mulai mengerut. Sepatu itu pas, indah di kakinya. Sempurna.
“Berapa harganya? “ bisik ibuku. Aku tersenyum. Ah ibu ni lah..Bukankah aku yang bayar kenapa tanya harga.
“Nggak mahal kok hanya 125 ribu perak, “
Ibu membuka sepatunya “Nggak enak sepatu ini. Nggak bagus,”
Aku tidak mengerti. “ Tapi kulihat bagus kok. Inikan kain bahan. Lembut dan pastinya nyaman,”
“Sudahlah, ayo kita cari yang lain saja. Aku beli daster saja ya,” Ibu menarik tanganku cepat. Pramuniaga yang sejak awal tersenyum langsung pasang muka jutek.
“Ke toko sepatu yang dekat lift itu aja ya bu. Kayaknya disitu lebih bagus lagi.” Aku mengapit tangannya dan spontan mencium pipi kirinya.
“Nggak usah. Nanti malah lebih mahal,”
Mendegar itu, langkahku sontak berhenti. Jadi bukan karena sepatu itu nggak bagus. Tapi karena mahal.
Itulah ibuku. Dia tidak akan pernah membiarkanku membeli sesuatu yang mahal untukknya tapi untukku ibu selalu bilang, “Mending kita beli yang mahal tapi tahan lama.“
Suatu ketika, saat aku pulang liburan dari Thailand, aku membawakan ibu sebuah tas yang menurutku yang paling cantik. Okelah harganya kalau dikonversi ke rupiah lumayan mahal tapi ayolah ini kan tas bagus yang baru ada di Thailand pada masa itu.
Tapi bukannya senang malah ibu marah besar. “Bukannya lebih baik kau belikan emas uangmu itu!”
Dan sampai setahun tas itu dibiarkannya tergeletak kayak sampah di lemari.
Aku mencari cara lain menyenangkan ibuku, “Ayo kita makan mie sop.”
Ibu paling suka makan mie sop. Jadi aku pikir dia pasti tidak akan menolak. Lagipula harganya kan murah. Tapi kenyataannya, ibu memang memakan mie sopnya dengan lahap. Tapi tidak pakai apa-apa. Tidak menambahinya dengan tahu, sate kerang, kacang, rampela dan tanpa ditemani juice. Air putih doank.
“Kok nggak pake apa-apa bu. Enak loh.” Aku mengambil lagi sate kerang yang keempat.
Ibu emang nggak menjawab tapi setiba di rumah, aku baru tahu fakta sesungguhnya.
“Mahal juga yah sate kerang itu. Masa sebiji seribu rupiah.”
Ternyata oh ternyata, ibuku bukan nggak suka atau diet tapi sekali lagi saudara-saudara karena mahal.
Itulah ibuku.
Ibuku penuh dengan kekurangan. Dia bukan tipe ibu yang bisa kau banggakan di depan teman-temanmu, rekan kantormu atau pacar barumu. Tapi dia tetap ibuku.
Aku tidak peduli apa kata orang lain tentang ibuku. Jika ibuku sanggup menahan banyak keinginannya demi aku, aku pikir dia ibu yang istimewa. Hm, dia mungkin malaikat. Ah tidak! Dia pasti malaikat. Aku yakin tentang itu.
I love you mom.
Ibuku penuh dengan kekurangan. Dia bukan tipe ibu yang bisa kau banggakan di depan teman-temanmu, rekan kantormu atau pacar barumu. Tapi dia tetap ibuku.
Suatu ketika aku membawa ibuku ke mall. Aku ingin membelikannya sepatu. Dengan hati-hati aku menyorongnkan sepatu bertumit rendah ke kakinya yang mulai mengerut. Sepatu itu pas, indah di kakinya. Sempurna.
“Berapa harganya? “ bisik ibuku. Aku tersenyum. Ah ibu ni lah..Bukankah aku yang bayar kenapa tanya harga.
“Nggak mahal kok hanya 125 ribu perak, “
Ibu membuka sepatunya “Nggak enak sepatu ini. Nggak bagus,”
Aku tidak mengerti. “ Tapi kulihat bagus kok. Inikan kain bahan. Lembut dan pastinya nyaman,”
“Sudahlah, ayo kita cari yang lain saja. Aku beli daster saja ya,” Ibu menarik tanganku cepat. Pramuniaga yang sejak awal tersenyum langsung pasang muka jutek.
“Ke toko sepatu yang dekat lift itu aja ya bu. Kayaknya disitu lebih bagus lagi.” Aku mengapit tangannya dan spontan mencium pipi kirinya.
“Nggak usah. Nanti malah lebih mahal,”
Mendegar itu, langkahku sontak berhenti. Jadi bukan karena sepatu itu nggak bagus. Tapi karena mahal.
Itulah ibuku. Dia tidak akan pernah membiarkanku membeli sesuatu yang mahal untukknya tapi untukku ibu selalu bilang, “Mending kita beli yang mahal tapi tahan lama.“
Suatu ketika, saat aku pulang liburan dari Thailand, aku membawakan ibu sebuah tas yang menurutku yang paling cantik. Okelah harganya kalau dikonversi ke rupiah lumayan mahal tapi ayolah ini kan tas bagus yang baru ada di Thailand pada masa itu.
Tapi bukannya senang malah ibu marah besar. “Bukannya lebih baik kau belikan emas uangmu itu!”
Dan sampai setahun tas itu dibiarkannya tergeletak kayak sampah di lemari.
Aku mencari cara lain menyenangkan ibuku, “Ayo kita makan mie sop.”
Ibu paling suka makan mie sop. Jadi aku pikir dia pasti tidak akan menolak. Lagipula harganya kan murah. Tapi kenyataannya, ibu memang memakan mie sopnya dengan lahap. Tapi tidak pakai apa-apa. Tidak menambahinya dengan tahu, sate kerang, kacang, rampela dan tanpa ditemani juice. Air putih doank.
“Kok nggak pake apa-apa bu. Enak loh.” Aku mengambil lagi sate kerang yang keempat.
Ibu emang nggak menjawab tapi setiba di rumah, aku baru tahu fakta sesungguhnya.
“Mahal juga yah sate kerang itu. Masa sebiji seribu rupiah.”
Ternyata oh ternyata, ibuku bukan nggak suka atau diet tapi sekali lagi saudara-saudara karena mahal.
Itulah ibuku.
Ibuku penuh dengan kekurangan. Dia bukan tipe ibu yang bisa kau banggakan di depan teman-temanmu, rekan kantormu atau pacar barumu. Tapi dia tetap ibuku.
Aku tidak peduli apa kata orang lain tentang ibuku. Jika ibuku sanggup menahan banyak keinginannya demi aku, aku pikir dia ibu yang istimewa. Hm, dia mungkin malaikat. Ah tidak! Dia pasti malaikat. Aku yakin tentang itu.
I love you mom.
Comments