Aku tahu kalo suatu hari kelak Mba akan dipindahtugaskan ke daerah lain. Tentu saja aku tahu karena memang seperti itulah sistem di Kompas.
Tapi aku tidak tahu ketika dia pergi, aku akan begitu sangat kehilangan.
Seharusnya tidak ada perasaan apapun ketika dia pergi. Dia bukan siapa-siapaku. Tapi hati brengsek ini telah terlanjur sayang. Mataku juga seakan telah sepakat dengan hati; mereka menghujaniku dengan melodi kepedihan yang membuat pikiran terkenang akan semua hal baik dan manis yang dilewati (Ayolah vie, dia hanya pindah kota bukan mati!!!)
aku merasa begitu konyol. Semua orang pasti akan menertawakanku. bagaimana mungkin aku sebegitu merasa kehilangan buat seseorang bernama Bakir. Tapi aku bisa apa?!
Mas Bakir menghujaniku dengan banyak kasih. Dia memperbolehkanku duduk di kursinya, mengerecokinya saat dia kejar deadline, mengelap kacamatanya, mengangkat telponnya (ya iyalah, la wong aku produsernya hihihihi), memegang kepalanya (ketika pertama kali dia hampir mencukur botak rambutnya), meraba dahi mengukur temperaturnya(dia terpaksa siaran meski sedang demam dan flu hebat), meminjam mobilnya, memberinya nama julukan si botak, menasehatinya dan memakan burger yang kubeli padahal dia kan nggak boleh makan yang berlemak-lemak.
"nanti kau akan dapat teman yang baru dek," Itu yang dikatakannya saat aku nanya kenapa dia harus pergi. Memang pertanyaan ini pertanyaan bodoh tapi aku hanya mengulur waktu mencari kepastian kalo aku tidak sedang bermimpi.
"Tapi kan belum tentu seperti kamu. Mbak Iin gimana? Apa dia senang?" Pertanyaan bodoh lainnya. Yah pasti mbak Iin senang, Jakarta kan rumahnya.
________________________________________________________________
Aku pernah bertanya pada Tuhan kenapa orang-orang yang kusayang cepat pergi dariku.
Jawabannya sederhana karena memang itulah batas waktu yang aku perlukan untuk bersama dengan mereka.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Hm, aku masih sedih.
Tapi aku tidak tahu ketika dia pergi, aku akan begitu sangat kehilangan.
Seharusnya tidak ada perasaan apapun ketika dia pergi. Dia bukan siapa-siapaku. Tapi hati brengsek ini telah terlanjur sayang. Mataku juga seakan telah sepakat dengan hati; mereka menghujaniku dengan melodi kepedihan yang membuat pikiran terkenang akan semua hal baik dan manis yang dilewati (Ayolah vie, dia hanya pindah kota bukan mati!!!)
aku merasa begitu konyol. Semua orang pasti akan menertawakanku. bagaimana mungkin aku sebegitu merasa kehilangan buat seseorang bernama Bakir. Tapi aku bisa apa?!
Mas Bakir menghujaniku dengan banyak kasih. Dia memperbolehkanku duduk di kursinya, mengerecokinya saat dia kejar deadline, mengelap kacamatanya, mengangkat telponnya (ya iyalah, la wong aku produsernya hihihihi), memegang kepalanya (ketika pertama kali dia hampir mencukur botak rambutnya), meraba dahi mengukur temperaturnya(dia terpaksa siaran meski sedang demam dan flu hebat), meminjam mobilnya, memberinya nama julukan si botak, menasehatinya dan memakan burger yang kubeli padahal dia kan nggak boleh makan yang berlemak-lemak.
"nanti kau akan dapat teman yang baru dek," Itu yang dikatakannya saat aku nanya kenapa dia harus pergi. Memang pertanyaan ini pertanyaan bodoh tapi aku hanya mengulur waktu mencari kepastian kalo aku tidak sedang bermimpi.
"Tapi kan belum tentu seperti kamu. Mbak Iin gimana? Apa dia senang?" Pertanyaan bodoh lainnya. Yah pasti mbak Iin senang, Jakarta kan rumahnya.
________________________________________________________________
Aku pernah bertanya pada Tuhan kenapa orang-orang yang kusayang cepat pergi dariku.
Jawabannya sederhana karena memang itulah batas waktu yang aku perlukan untuk bersama dengan mereka.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Hm, aku masih sedih.
Comments