Otakku terus saja dikuras seperti orang lagi menggali sumur. Awalnya memilih bungkam hingga memutuskan bangkit untuk melawan.
Emang kau siapa heh?!
pertengahan tahun 2003 saat tugas ke Jakarta, entah guyon atau memang serius teman2 ngusulin mendirikan serikat pekerja.
"kok aku?"
"karena kau yang bisa melawan.Lihat saja gimana reaksi big boss gitu kau bilang apartemen kosong nggak ada makanan,"
"itu artinya aku bakal dimutasi ke jakarta donk."
"ya iyalah. Masak serikat pekerja networking kita dimulai dari daerah. Lebih bagus dipusat, kan kantor kita ada di pusat."
"gaji kalian berapa?"
Mereka menyebukan angka dan plus plus yang lain. Aku segera menolak. Angka itu nggak terlalu jauh dari gaji yang kuperoleh di daerah. Untuk apa pindah, pikirku waktu itu. lagipula kesejahteraan kantorku relatif besar untuk skala Medan. cukuplah, timbangku lagi.
tahun 2004...
"guys, gimana kalo kita buat serikat pekerja ?" usulku di suatu sore usai ngerjain buletin berita.
"untuk apa Nov? dibandingkan media lain, kita ini cukup enak. kurang apalagi coba?"
"Lho...kau kan nggak tahu apa yang bakal terjadi. Lagipula serikat pekerja gunanya bukan hanya untuk memperjuangkan hak kita saat misal terjadi PHk tapi juga untuk memperjuangkan hak2 kita yang mungkin belum dipenuhi perusahaan," Panjang juga aku bicara tapi teman2 malah menertawakanku,"dasar anak FISIP, "katanya.
tahun 2005...
"liat nggak nasib koran XXX," Aku mulai lagi menyemangi teman2 di kantor. "itulah akibatnya jika nggak punya serikat pekerja. Pikir donk, masa kita jurnalis selalu saja bicara soal perjuangan buruh menuntut hak normatifnya, sementara perlakuan yang diterima jurnalis kadang lebih mengerikan daripada buruh pabrik. Kerja 24 jam nggak teratur, ada media yang nggak kasih uang lembur, trus...."
"emang kantor kita begitu?"potong salah satu awak news.
"Ya enggak. Tapi kan ada baiknya jika kita punya serikat pekerja. Kalo punya kita bisa..."
"udahlah Nov. itu kan mereka. Media kecil."
Tahun 2006...
Dua hari Lalu
"ini saatnya kita mendirikan serikat pekerja Nov! Gimana Jakarta? " kata salah seorang rekanku dari Bandung.
Sebenarnya aku ingin bilang,"rasain! Sekarang baru nyaho" tapi aku malah bilang, "Yup, jika pun harus keluar, kita keluar dengan cara terhormat."
Sore ini...
"Nov, timbang baik2 donk. Jangan turutkan emosi. kau termasuk yang terbaik dan aku yakin dipertahankan. jika kau meneruskan niatmu, itu akan menyulitkanmu,"
"maksudmu?"
"bangunlah Nov. pada akhirnya setiap orang akan menyelamatkan dirinya masing2 saat bencana datang. nggak usah jadi pahlawan.orang yang pertama kali dikorbankan jika kantor tahu ini, adalah kau."
malam ini...
aku sebenarnya nggak punya niat merongrong "wibawa kantorku". nggaklah. kantor ini telah membesarkanku dengan caranya sendiri, mengenalkanku dunia kerja yang memikat dan penuh intrik, membawa ke negeri negeri yang dulu hanya ada dalam mimpiku, mendewasakanku dalam perjalanan menjadi jurnalis yang sesungguhnya dan melingkupiku dengan hangatnya persaudaraan.
aku juga nggak tahu apa kata merongrong adalah kata tepat bagi perjuanganku mendapatkan hak sebagai pekerja media. saat ini yang kutahu, yang kupahami dalam benakku yang sederhana, aku harus memiliki pekerjaan untuk membantu keuangan keluarga.
malam ini aku kehilangan kekuatan untuk berbagi semangat dengan orang-orang. imel mas bambang kompas terus terbayang.
"maafkan aku. aku memilih keluargaku,"
Emang kau siapa heh?!
pertengahan tahun 2003 saat tugas ke Jakarta, entah guyon atau memang serius teman2 ngusulin mendirikan serikat pekerja.
"kok aku?"
"karena kau yang bisa melawan.Lihat saja gimana reaksi big boss gitu kau bilang apartemen kosong nggak ada makanan,"
"itu artinya aku bakal dimutasi ke jakarta donk."
"ya iyalah. Masak serikat pekerja networking kita dimulai dari daerah. Lebih bagus dipusat, kan kantor kita ada di pusat."
"gaji kalian berapa?"
Mereka menyebukan angka dan plus plus yang lain. Aku segera menolak. Angka itu nggak terlalu jauh dari gaji yang kuperoleh di daerah. Untuk apa pindah, pikirku waktu itu. lagipula kesejahteraan kantorku relatif besar untuk skala Medan. cukuplah, timbangku lagi.
tahun 2004...
"guys, gimana kalo kita buat serikat pekerja ?" usulku di suatu sore usai ngerjain buletin berita.
"untuk apa Nov? dibandingkan media lain, kita ini cukup enak. kurang apalagi coba?"
"Lho...kau kan nggak tahu apa yang bakal terjadi. Lagipula serikat pekerja gunanya bukan hanya untuk memperjuangkan hak kita saat misal terjadi PHk tapi juga untuk memperjuangkan hak2 kita yang mungkin belum dipenuhi perusahaan," Panjang juga aku bicara tapi teman2 malah menertawakanku,"dasar anak FISIP, "katanya.
tahun 2005...
"liat nggak nasib koran XXX," Aku mulai lagi menyemangi teman2 di kantor. "itulah akibatnya jika nggak punya serikat pekerja. Pikir donk, masa kita jurnalis selalu saja bicara soal perjuangan buruh menuntut hak normatifnya, sementara perlakuan yang diterima jurnalis kadang lebih mengerikan daripada buruh pabrik. Kerja 24 jam nggak teratur, ada media yang nggak kasih uang lembur, trus...."
"emang kantor kita begitu?"potong salah satu awak news.
"Ya enggak. Tapi kan ada baiknya jika kita punya serikat pekerja. Kalo punya kita bisa..."
"udahlah Nov. itu kan mereka. Media kecil."
Tahun 2006...
Dua hari Lalu
"ini saatnya kita mendirikan serikat pekerja Nov! Gimana Jakarta? " kata salah seorang rekanku dari Bandung.
Sebenarnya aku ingin bilang,"rasain! Sekarang baru nyaho" tapi aku malah bilang, "Yup, jika pun harus keluar, kita keluar dengan cara terhormat."
Sore ini...
"Nov, timbang baik2 donk. Jangan turutkan emosi. kau termasuk yang terbaik dan aku yakin dipertahankan. jika kau meneruskan niatmu, itu akan menyulitkanmu,"
"maksudmu?"
"bangunlah Nov. pada akhirnya setiap orang akan menyelamatkan dirinya masing2 saat bencana datang. nggak usah jadi pahlawan.orang yang pertama kali dikorbankan jika kantor tahu ini, adalah kau."
malam ini...
aku sebenarnya nggak punya niat merongrong "wibawa kantorku". nggaklah. kantor ini telah membesarkanku dengan caranya sendiri, mengenalkanku dunia kerja yang memikat dan penuh intrik, membawa ke negeri negeri yang dulu hanya ada dalam mimpiku, mendewasakanku dalam perjalanan menjadi jurnalis yang sesungguhnya dan melingkupiku dengan hangatnya persaudaraan.
aku juga nggak tahu apa kata merongrong adalah kata tepat bagi perjuanganku mendapatkan hak sebagai pekerja media. saat ini yang kutahu, yang kupahami dalam benakku yang sederhana, aku harus memiliki pekerjaan untuk membantu keuangan keluarga.
malam ini aku kehilangan kekuatan untuk berbagi semangat dengan orang-orang. imel mas bambang kompas terus terbayang.
"maafkan aku. aku memilih keluargaku,"
Comments