Skip to main content

anak penyemir sepatu

aku ketemu lagi ama anak penyemir sepatu itu. namanya pene. cakep. sayang dah ga sekolah lagi. papanya seorang pemabuk sedangkan mamanya... ga beda jauh. mereka ada tujuh sekeluarga dan terpencar-pencar karna orang tuanya memberikan anaknya untuk ikut orang lain. tinggal 3 orang di medan. satu ga jelas kerjanya apa. yang dua lagi jadi penyemir sepatu.

aku masih ingat dulu waktu ngepos di kepolisian pasti deh kita pada maksain diri nyemir sepatu ama dia. soalnya kasihan banget. tapi nih anak, harga dirinya tinggi banget. pernah suatu kali, aku berminggu2 pake sepatu merah..so ga bisa donk disemir. nih anak nannya kapan aku pake sepatu hitamku itu lagi. aku tersenyum aja.

sampai suatu kali aku ngeliat dia meringis kesakitan menahan lapar, waktu kuberi uang untuk beli makan, dia nolak. kupikir dia malu yah udah aku ajak makan bareng eh dia malah makin ga mau. alhasil, aku menyuruh temanku untuk menyemirkan sepatunya agar aku punya alasan untuk menerima uang pemberianku biar dia bisa makan siang. ga taunya waktu aku kasih uang lima  ribuan dia bilang, dia ga ada balik. waktu kubilang ambil aja sissanya dia malah menggeleng. ga abis akal aku bilang ama dia, " udah gini aja yah. kau utang empat kali semiran sepatu lagi untukku, okey " dan mengangguklah dia tanda setuju.

dan kalian tau... dia menepati janjinya. tiap kali dia selesai menyemir sepatu, dia langsung lari sembari menolak uangku. " ini untuk utangku kak,"

anak itu...aku salut banget. 

Comments

Popular posts from this blog

liputan ke aceh

aceh... akhirnya aku menjejak kaki juga ke serambi mekah itu. dan hatiku menangis. dalam. rick paddcok-rekanku-jurnalis kawakan dari LA Times memegang tanganku. "it's ok rick, " aku menepis tangannya. kaki terus melangkah.pelan. tiap langkah hanya tangisan yang dalam. aku menghela napas. berat. sementara pastorku-Sukendra Saragih menangis pilu. raut wajahnya -God! aku tau betapa tersiksanya dia melihat ini semua. 9 tahun ia bolak-balik aceh. ratusan ribu kali. hanya untuk satu visi agar ada hidup baru yang mengalir di aceh. tapi hari ini.. gelombang tsunami meluluhlantakkan negeri ini dan menyeret ratusan ribu jiwa ke neraka. aku menarik napas lagi. kali ini lebih dalam. tapi yang terjadi aku malah muntah. Rick memegang pundakku,"are you ok vie" aku meraih lengannya. aku hanya bisa mengangguk pasrah. dan aku pun memulai liputanku. aku disana seminggu. ada banyak hal yang ingin kuceritakan. tentang kehilangan. tentang rasa sepi.tentang keputusasaan. tentang ...

kangenku melayang

Aku kangen banget hari ini- dengan kamu – pria yang begitu mempesona. Tapi rinduku ga pernah jelas bagimu. Kamu menejermahkannya dengan candaan tetapi aku mengartikannya sebagai penolakan. Rinduku ga pernah penting untukmu. Sesaat aku menyesal mencintaimu. Tetapi aku terlanjur mencintaimu dan aku ga akan pernah mencabutnya kembali. Aku terlalu mencintaimu. Akh..andai waktu bisa terulang. Andai jarak bisa ditiadakan… Jangan bilang aku kekanakan. Jangan bilang aku tidak mengerti dengan yang kukatakan. Bahasaku sederhana – aku hanya ingin berada disisimu.

Cara melupakan Kenangan Pahit

Kenangan pahit tidak perlu dipaksa dilupakan. Biarkan saja dia mengendap dengan sendirinya. Aku yakin waktu bisa membuat kenangan itu terlupakan. Dan inilah yang kualami. Aku perlu waktu yang lama untuk bisa melupakan kenangan itu. Awalnya pengen buru-buru menghapusnya dan menguburnya namun aku memilih proses waktu yang melakukannya. Malam ini aku menguji coba lagi apakah kenangan itu masih terasa pahit dan sakit saat aku melihat wajah itu. Puji Tuhan ternyata tidak. Aku melihatnya sama seperti jika aku melihat wajah orang lain. Memang kenangan itu masih ada tapi tidak lagi menimbulkan rasa nyeri seperti yang kurasakan untuk pertama kali pada 4 tahun silam. Kenangan yang pahit hanya bisa merubah ketika kita secara berani membiarkan hati kita melakukan recovery secara berlahan dan tidak dipaksakan. Artinya memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aku pun melakukannnya dengan sangat berlahan. Pertama memberikan diriku kesempatan untuk menangis. Kedua ...