Skip to main content

Belajar Jadi Orang Tua

 Anakku yang sulung kini berusia 6 tahun. Sudah TK B dan mulai bisa mengeja kata-kata. Ada rasa haru, bangga, sedikit kuatir dalam membesarkannya. Namun rasa terbesarnya ialah kesadaran penuh bahwa aku kini bukan si lajang lagi tapi sudah jadi ibu. Menjadi orang tua seperti orang tuaku dulu. Suatu peran yang ternyata tidak semudah dan seenak kubayangkan. Ian, anak sulungku itu meniru habis sifat bapaknya yang berdarah Jawa Solo. Sudah dapat dibayangkan benturan yang kuperoleh dalam membesarkannya dalam lingkungan Batak Toba dimana orang-orangnya keras dan terus terang dalam menyampaikan sikap dan pikiran mereka.  Aku jujur harus kerja ekstra keras untuk mendidiknya jadi pribadi yang mengambil sisi yang positif saja dari latar belakangku dan bapaknya. Jadilah anak itu menjadi ruang percobaanku; yang sering membuatku menangis malam-malam ketika aku sadar aku melakukan kesalahan namun yang kadang membuatku berani tepuk dada, karena Ian menjadi gen yang lebih dari anak-anak sekitarnya. Itu menurutku ya.

 

Kembali soal menjadi orang tua. Ketika sudah menjadi orang tua inilah aku menyadari beberapa konsep yang kupegang soal orang tuaku ternyata tidak seratus persen benar. Bahwa mereka keras kepadaku bukanlah bukti bahwa mereka tak sayang, atau memang sengaja menunjukkan kekuasaannya kepadaku sebagai anaknya. Bahwa ketika mereka mengatakan tidak saat aku meminta bukan berarti mereka tak ingin memberikannya. Tapi bisa karena masih menunggu apakah aku pantas memperolehnya, bermanfaat bagiku dan tentu saja disesuaikan dengan keuangan keluarga yang harus dikelola hati-hati. Bahwa mereka memukulku, memakiku, menyeretku, mentertawakan kesalahan dan ke-sok-an ku sebagai remaja yang sedang merasa benar sendiri adalah justru campuran dari rasa tidak percaya diri, kuatir dan amarah yang tersembunyi dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa orang tuaku yang belum selesai. Sama seperti aku yang kini menyadari kalau akupun belum selesai dengan diriku sendiri. Aku belum penuh. Aku masih setengah penuh. Aku tidak percaya diri. Aku suka kuatir. Aku cenderung marah ketika aku tidak memperoleh yang kuinginkan. Dan alih-aih mengambil sikap menerima kesalahanku atas kegagalan maupun ketidakmampuanku, aku justru memilih jalan yang lebih mudah dengan menjadikan situasi, orang lain dan barang sebagai penyebabnya. That’s it.  Oleh karena aku tidak selesai dengan diriku, masih mencari jati diri, masih berusaha mengenal diriku secara utuh, akibatnya akupun mendidik anakku setengah penuh. Puji Tuhannya ialah, aku mengenali ruang setengah penuh ini. Aku mulai mengindikasikannya. Mencoret-coret yang perlu kutambah, kukurangi atau kuhilangkan dan diganti dengan yang baru. Dalam masa inilah, aku bersyukur Tuhan menginginkan aku menulis kembali hal-hal yang terjadi hingga menjadi bahan koreksi di kemudian hari. Bukan hanya bagiku dan keturunanku tapi bisa jadi orang lain, yang bersedia mampir ke blog ini setiap hari untuk berjalan denganku menemukan serpihan –serpihan dari ruang setengah penuhku yang  lainnya.

 

Note :

Aku sangat bahagia ketika Tuhan bersedia memberikan aku anak  laki-laki yang tampan di bulan Oktober 2014.  Ketika masih didalam rahim, aku menamainya Bejo, yang dalam Bahasa Jawa artinya keberuntungan. Kusebut begitu karena memang akulah yang  kusebut sebagai perempuan yang beruntung karena di masa yang sudah tidak lagi muda, aku diizinkan menjadi ibu. Aku pikir Tuhan benar-benar sayang padaku. Ketika aku mengelus perutku yang hamil, aku merasa begitu ajaib karena ada kehidupan di rahimku. Tapi pada saat bersamaan, perasaan takut seandainya aku mengacau seperti biasa, kerap terintas di benakku. Aku tidak yakin bisa membesarkannya dengan sebaik yang tertulis dibuku panduan menjadi orang tua. Aku bahkan tidak tahu memilih jenis kain baju yang akan dipakainya di hari pertama dia akan lahir. Aku tidak yakin, apakah kain yang ketika kusentuhkan lembut ke kulitku akan lembut juga dikulitnya. Aku begitu takut menjadi orang tuanya. Sama seperti aku juga begitu tidak sabaran untuk mengetahui apakah aku cocok menjadi ibu ataukah tidak. Jika ini adalah sesuatu yang bisa direka ulang. Aku pun masih dengan perasaan yang sama. Ragu dan mantap sebagai ibu

Comments

Popular posts from this blog

Kepada rekan sevisi (cont: ayo donasi ke Israel)

Medan, 08 September 2008 Kepada : Teman sevisi Salam kegerakan, Nama saya Novita Sianipar. Panggil saya Vita. Saat ini saya mendapat undangan untuk mengikuti konferensi internasional (All Nations Convocation Jerusalem/ ANCJ) di Israel mulai tanggal 21 September hingga 13 Oktober 2008. Saya memperoleh undangan ini dari rekan saya Miss X (maaf nama dirahasiakan), yang juga volunteer di JHOPFAN (Jerusalem House of Prayer for All Nations) di Israel. Dia merupakan staff disana pada konferensi sebelumnya. Beliau merekomendasikan nama saya sebagai salah satu volunteer untuk kawasan Asia. Saya merupakan satu-satunya volunteer asal Indonesia yang bakal bertugas di konferensi itu. Tugas saya dalam acara tersebut adalah menyambut para delegasi dari seluruh dunia khususnya dari Asia dan memfasilitasi kebutuhan mereka dalam acara tersebut. Selain itu saya mendapat tambahan tugas dibagian publikasi dan media. Adalah penting jika Indonesia mengirimkan volunteer perwakilannya di ANCJ di Israel. Saat i...

Masih cemas

Aku berusaha untuk konsentrasi menyelesaikan essay tapi pikiran selalu saja berlari ingin pulang dan memeluk mama. Seperti apapun yang kuupayakan, tetap saja aku nggak bisa menghalau rasa cemas ini. Aku takut...........

Berani mencinta berani disakiti

Benci dan kemarahan hanyalah dua komponen yang menyerang ganas kepada mereka yang dipercaya namun merusak kepercayaan itu. Benci yang kata orang benar-benar cinta sebenarnya menunjukkan defenisi yang benar bahwa benci hanya bisa dilampiaskan  kepada orang yang benar-benar kita cintai haha. Kemarin aku menonton sebuah FTV, Si tokoh wanita bilang, "Aku tidak ingin disakiti, makanya aku tidak ingin mencintainya. " Lantas, si tokoh pria mengatakan, "Kalau kau berani mencintai, kau sedang memberi peluang untuk disakiti." Cinta dan rasa sakit hati nampaknya memang satu paket. Itulah sebabnya kitab Amsal juga menuliskannya dengan jelas bahwa orang yang paling berpeluang menyakitimu adalah orang yang paling kamu cinta dan percayai. Jadi jika memang satu paket, tentu kalimat bijak yang bisa dibentuk ialah, berani mencinta berani disakiti hahahahaha..Mengerikan.