Suatu kali aku ditanya teman satu rumahku dimana dia bisa membeli coat. Refleks aku menjawab Primark (sejenis pusat perbelanjaan Matahari kalau di Indonesia). "You can get a coat there in good price,"
Eliza, roomateku itu menatapku. Sambil mengambil selai coklat Nuttela aku menambahkan,"But for branded coat with cheaper price, charity shop will be better. I bought some stuff from there. So, many branded stuff are provided. Sometime in half price, if you are lucky"
Besoknya dia sudah pake jaket yang keren dan bermerek. Aku nggak nanya dia beli dimana karena tentu saja itu bukan urusanku. Minggu depannya, dia mengajakku ke kota (disebut kota karena emang tempat tinggalku di desa; Desa Falmer). Turun dari bus, kami segera ke mall. "I want go to Zara," kataku.
Dia melihatku aneh begitu dan bertanya, "What for? There is no good there."
What!!!
Terus Eliza menatapku seakan-akan pandanganku tentang apa yang disebut barang bagus dan tidak bagus itu perlu diluruskan. Jika tidak, aku akan menjadi neraka fesyen bagi orang idiot. Aku terdiam waktu itu karena bagiku, Zara sudah termasuk barang mewah hahaha. Lantas kita pergi ke Dorothy Perkins. Dia membeli beberapa barang dan aku hanya lihat dan pegang-pegang saja. Benaran bagus kok barangnya hahaha...
Nah, Eliza dan aku punya teman satu rumah yang lain; namanya Emma. Pada suatu kali, Eliza mengomentari gaya berbusana Emma, dan ketika kami berencana akan keluar bareng untuk hang out, Eliza berkeberatan mengajak Emma. Alasannya sederhana yakni Emma nggak bisa punya pakaian yang oke. Berpakaian tidak berbranded aja udah menyalahi, apalagi berpakaian tidak oke. Saat itulah aku menyadari dengan siapa aku berhadapan. Aku berhadapan dengan tipe manusia yang menilai manusia lainnya dengan apa yang dia kenakan.
Berulang kali hal yang sama terjadi dengan teman-teman yang berbeda. Tiap kali itu pula, aku tetap saja tidak merasa ada yang salah untuk menyarankan orang berbelanja di Charity Shop. Meski tentu saja, hasil terbanyak ialah aku ditolak untuk menjadi lebih dekat lagi sebagai teman. Tapi sumpe, aku nggak pernah menyesal karena justru dengan demikian alam telah menyeleksi siapa yang pantas menjadi sahabatku karena toh tentu saja dari sekian banyak orang-orang itu, beberapa diantaranya kaya, sangat kaya tapi tetap bisa membumi dan tidak terlalu berpikir "aku adalah apa yang kupakai"...
Beberapa hari ini aku melihat lagi orang yang melihat "aku adalah apa yang kupakai". Sumpe, kali ini -untuk orang ini- aku muak banget. Semoga aja deh dia nggak kena batunya karena diatas langit ada langit.
Eliza, roomateku itu menatapku. Sambil mengambil selai coklat Nuttela aku menambahkan,"But for branded coat with cheaper price, charity shop will be better. I bought some stuff from there. So, many branded stuff are provided. Sometime in half price, if you are lucky"
Besoknya dia sudah pake jaket yang keren dan bermerek. Aku nggak nanya dia beli dimana karena tentu saja itu bukan urusanku. Minggu depannya, dia mengajakku ke kota (disebut kota karena emang tempat tinggalku di desa; Desa Falmer). Turun dari bus, kami segera ke mall. "I want go to Zara," kataku.
Dia melihatku aneh begitu dan bertanya, "What for? There is no good there."
What!!!
Terus Eliza menatapku seakan-akan pandanganku tentang apa yang disebut barang bagus dan tidak bagus itu perlu diluruskan. Jika tidak, aku akan menjadi neraka fesyen bagi orang idiot. Aku terdiam waktu itu karena bagiku, Zara sudah termasuk barang mewah hahaha. Lantas kita pergi ke Dorothy Perkins. Dia membeli beberapa barang dan aku hanya lihat dan pegang-pegang saja. Benaran bagus kok barangnya hahaha...
Nah, Eliza dan aku punya teman satu rumah yang lain; namanya Emma. Pada suatu kali, Eliza mengomentari gaya berbusana Emma, dan ketika kami berencana akan keluar bareng untuk hang out, Eliza berkeberatan mengajak Emma. Alasannya sederhana yakni Emma nggak bisa punya pakaian yang oke. Berpakaian tidak berbranded aja udah menyalahi, apalagi berpakaian tidak oke. Saat itulah aku menyadari dengan siapa aku berhadapan. Aku berhadapan dengan tipe manusia yang menilai manusia lainnya dengan apa yang dia kenakan.
Berulang kali hal yang sama terjadi dengan teman-teman yang berbeda. Tiap kali itu pula, aku tetap saja tidak merasa ada yang salah untuk menyarankan orang berbelanja di Charity Shop. Meski tentu saja, hasil terbanyak ialah aku ditolak untuk menjadi lebih dekat lagi sebagai teman. Tapi sumpe, aku nggak pernah menyesal karena justru dengan demikian alam telah menyeleksi siapa yang pantas menjadi sahabatku karena toh tentu saja dari sekian banyak orang-orang itu, beberapa diantaranya kaya, sangat kaya tapi tetap bisa membumi dan tidak terlalu berpikir "aku adalah apa yang kupakai"...
Beberapa hari ini aku melihat lagi orang yang melihat "aku adalah apa yang kupakai". Sumpe, kali ini -untuk orang ini- aku muak banget. Semoga aja deh dia nggak kena batunya karena diatas langit ada langit.
Comments