Sepertinya aku mengalaminya lagi. Masalah kejiwaan yang selalu saja akut kalau mau melakukan sesuatu yang besar dan tidak bisa kuprediksikan. Akh, jiwa sialan ini selalu saja menyimpan ketakutan mengenai masa depan. Padahal bukankah Tuhan telah membuktikan kesetiaaNya. Sungguh aku ini si manusia celaka.
Minggu lalu dapat email untuk mengisi form kepulangan. Antara senang, sedih dan ujungnya malah kuatir itu yang kurasakan silih berganti. Senang bisa pulang, bisa ketemu orang tua, teman-teman dan jemuran di belakang rumah yang menjadi tempat aku duduk-duduk atau gelar tikar tiduran sambil baca buku. Senang juga membayangkan bisa ke pasar tradisional dekat rumah, berbecek-becek ria menawar ikan, sayur, dan tomat dengan satu tangan memegang bakwan, sate, ondel-ondel atau apalah namanya dan mulut sibuk berdecap-decap nikmat oleh makanan sederhana yang murah tapi maknyus. Sedihnya ialah karna ternyata harus pulang, padahal udah mulai kerasan di Inggris. Sedih meninggalkan udara kota Brigthon yang bersih, yang langitnya bisa berubah warna dalam hitungan detik. Sedih meninggalkan seberang jalan yang dipenuhi rasberi liar, yang pada musim panas ini berbuah lebat menantang untuk disambar, ditelan bulat-bulat tanpa perlu dicuci. Sedih meninggalkan teman-teman yang dengannya aku harus bercas cis cus pake aksen 'Medan bah' - harus meninggalkan Peter; kakek tua dengan 12 cucu yang tinggal pas di depan rumah, Doreen- mommynya Huw- yang selalu saja bangga memamerkan tamannya yang luas; yang kadang-kadang menjamuku dengan minuman berbagai rasa dan aroma hasil racikan daun-daun atau bunga-bunga yang tumbuh di taman. Sedih harus meninggalkan kenyamanan ngantri saat berbelanja, kemudahan ambil uang melalui atm bank mana saja tanpa kena cas, naik bus yang bagus, bercat merah dan kuning menawan dan yang jika kita bersolek (baca: pake make up didalamnya) bisa dilakukan dengan mudah saking profesionalnya sang sopir menyetir dan tentu saja dukungan jalan-jalan Inggris yang beraspal tanpa lobang. SEDIH.
Dan kini yang menyerang adalah rasa kuatir. Usai kuliah, trus mau apa ?
Ya, ya...orang bilang lulusan s2 Inggris kok kuatir ? Ketawa juga baca kalimat itu. Tapi nyatanya begitu kok. Bukan takut ga bisa kerja, ga juga takut ga bisa makan atau apalah. Yang dikuatirkanpun mulai lebay. Akh! Perasaan semua mata sedang mengarah padaku. Dia (Vita) bisa apa ?
Pertanyaan yang sebenarnya muncul dari sendiri, berkaca dari kalimat mama yang dengan polosnya berkata, "Jangan belanja-belanja ko disana. Simpan uangnya untuk cari kerja. Nanti ko pulang kan pengangguran," Meski kubantah dengan cepat mengeluarkan rumus 'nggak mungkin', "Tuhan masak biarkan anaknya miskin," dan lain sebagainya. Tapi hati ini yang tahu kalau sebenarnya ini menjadi pertanyaan serius. Abis kuliah lantas apa ?
Banyak yang kuinginkan. Dikali 6, 11 dan 78 hasilnya makin banyak, makin liar dan ketika sudah selesai berimajinasi lemas sendiri dan menghadapi pertanyaan yang sama. Mau apa sih? Yakin mau itu ?
Dulu aku bukan siapa-siapa. Hanya orang biasa yang ada dibelakang panggung. Yang kerjanya menulis drama natal dan bukan yang menjadi pemerannya, apalagi jadi peran utama. Pernah sekali ikut audisi natal gereja ; terpilih ikut ambil peran sebagai pohon natal, itupun karna pihak gereja tidak juga berhasil menemukan pohon natal yang tepat untuk dipajang di altar. Tapi kini, aku menjadi 'sedikit apa-apa' karena namaku pernah tertulis di situs ternama sebagai satu dari 50 penerima beasiswa se Indonesia; satu-satunya perwakilan Sumatera Utara.Siapa dia? Siapa dia?
Ndak ada yang percaya. Tidak juga sahabat sendiri - yang dengan ringannya bertanya tanpa merasa bersalah,"Kok bisa kau sih yang lolos?"
Aku memang tertawa waktu itu didepannya, meski ucapannya menamparku berkali-kali hingga akhirnya aku bertanya depan kaca. Akh, masak aku ga ada tampilan sama sekali bisa menerima beasiswa? Namun yang setelah kucek dan kubanding-bandingkan dengan teman yang lain, ternyata memang ga ada tampang hehehe..
Aku hanyalah perempuan biasa dari keluarga biasa yang mengerjakan pekerjaan yang biasa dan bedanya hanyalah aku selalu bermimpi sekolah ke luar negeri. Sejak dulu-sejak kecil dulu- tiap kali ada film barat terus aku lihat ada adegan yang ada saljunya, aku langsung saja berlari ke depan tipi terus menempelkan tanganku disana dan sok misterius mengucap kalimat, "Pengen kesana," atau 'kumakan ko (salju) nanti'. Dan aku memelihara mimpi itu terus dan terus hingga Januari 2012, salju datang dengan derasnya. Aku takjub. Meski dingin aku menari bak orang gila ditengah terpaannya, ditonton teman-teman asrama dan orang-orang bule yang kebetulan melintas dengan terburu-buru. Aku menepati janjiku, aku memakan salju itu walaupun teman-teman melarangku mati-matian dengan seribu alasan kalau salju itu sudah terkontaminasi zat kimia dan lain sebagainya. Tapi aku tidak peduli. Dari dulu aku pengen tahu bagaimana rasanya. Apakah sama dengan es serut tanpa rasa ? Dan memang benar, bentuk, tekstur dan rasa sama kayak es serut tanpa markisa alias tak ada rasa hahaha
Balik ke pertanyaan lantas usai tamat mau apa?
Akh! Kali ini aku terdengar lebay. Sungguh, aku takut dengan ekspetasi orang sekembalinya aku. Aku masih pribadi yang sama, masih dengan keterbatasan yang sama dalam bercas-cis-cus. Aku masih yang dulu, dengan mimpi yang sama, dengan kebiasaan yang sama. Tidak banyak yang berubah (kalau tak mau dibilang aku begini-gini saja). Tapi orang mulai mengira lidahku jadi lidah bule. Makannya tidak lagi tempe tapi keju. Kalau aku sudah tidak bisa bilang ko tapi jadi you dengan aksen Cinta Laura. Orang juga sudah mengira kalau cara berpakaianku mulai berani terbuka atau malah sudah terbuka sekalian, kalau aku sudah tak perawan karena bule-bule suka cewek eksotis kayak aku. Padahal sumpe, aku masih yang dulu- masih suka ikan teri dibanding spageti- masih bilang ko untuk menunjuk kau atau kamu - masih berupaya tampil sopan tanpa menunjukkan belahan dada, paha dan anggota tubuh pribadi lainnya - dan tentu saja masih perawan karena memang cowokku bukan pria bule tapi jawa solo. Jadi aku masih yang dulu.
Jadi sejak pagi hingga aku menuliskan ini aku mendapat hikmat dariNya. "Kalau Tuhan telah memberiku beasiswa, DIA juga Allah yang sama akan memberikan yang terbaik buatku. Nggak perlu takut, bego!"
Minggu lalu dapat email untuk mengisi form kepulangan. Antara senang, sedih dan ujungnya malah kuatir itu yang kurasakan silih berganti. Senang bisa pulang, bisa ketemu orang tua, teman-teman dan jemuran di belakang rumah yang menjadi tempat aku duduk-duduk atau gelar tikar tiduran sambil baca buku. Senang juga membayangkan bisa ke pasar tradisional dekat rumah, berbecek-becek ria menawar ikan, sayur, dan tomat dengan satu tangan memegang bakwan, sate, ondel-ondel atau apalah namanya dan mulut sibuk berdecap-decap nikmat oleh makanan sederhana yang murah tapi maknyus. Sedihnya ialah karna ternyata harus pulang, padahal udah mulai kerasan di Inggris. Sedih meninggalkan udara kota Brigthon yang bersih, yang langitnya bisa berubah warna dalam hitungan detik. Sedih meninggalkan seberang jalan yang dipenuhi rasberi liar, yang pada musim panas ini berbuah lebat menantang untuk disambar, ditelan bulat-bulat tanpa perlu dicuci. Sedih meninggalkan teman-teman yang dengannya aku harus bercas cis cus pake aksen 'Medan bah' - harus meninggalkan Peter; kakek tua dengan 12 cucu yang tinggal pas di depan rumah, Doreen- mommynya Huw- yang selalu saja bangga memamerkan tamannya yang luas; yang kadang-kadang menjamuku dengan minuman berbagai rasa dan aroma hasil racikan daun-daun atau bunga-bunga yang tumbuh di taman. Sedih harus meninggalkan kenyamanan ngantri saat berbelanja, kemudahan ambil uang melalui atm bank mana saja tanpa kena cas, naik bus yang bagus, bercat merah dan kuning menawan dan yang jika kita bersolek (baca: pake make up didalamnya) bisa dilakukan dengan mudah saking profesionalnya sang sopir menyetir dan tentu saja dukungan jalan-jalan Inggris yang beraspal tanpa lobang. SEDIH.
Dan kini yang menyerang adalah rasa kuatir. Usai kuliah, trus mau apa ?
Ya, ya...orang bilang lulusan s2 Inggris kok kuatir ? Ketawa juga baca kalimat itu. Tapi nyatanya begitu kok. Bukan takut ga bisa kerja, ga juga takut ga bisa makan atau apalah. Yang dikuatirkanpun mulai lebay. Akh! Perasaan semua mata sedang mengarah padaku. Dia (Vita) bisa apa ?
Pertanyaan yang sebenarnya muncul dari sendiri, berkaca dari kalimat mama yang dengan polosnya berkata, "Jangan belanja-belanja ko disana. Simpan uangnya untuk cari kerja. Nanti ko pulang kan pengangguran," Meski kubantah dengan cepat mengeluarkan rumus 'nggak mungkin', "Tuhan masak biarkan anaknya miskin," dan lain sebagainya. Tapi hati ini yang tahu kalau sebenarnya ini menjadi pertanyaan serius. Abis kuliah lantas apa ?
Banyak yang kuinginkan. Dikali 6, 11 dan 78 hasilnya makin banyak, makin liar dan ketika sudah selesai berimajinasi lemas sendiri dan menghadapi pertanyaan yang sama. Mau apa sih? Yakin mau itu ?
Dulu aku bukan siapa-siapa. Hanya orang biasa yang ada dibelakang panggung. Yang kerjanya menulis drama natal dan bukan yang menjadi pemerannya, apalagi jadi peran utama. Pernah sekali ikut audisi natal gereja ; terpilih ikut ambil peran sebagai pohon natal, itupun karna pihak gereja tidak juga berhasil menemukan pohon natal yang tepat untuk dipajang di altar. Tapi kini, aku menjadi 'sedikit apa-apa' karena namaku pernah tertulis di situs ternama sebagai satu dari 50 penerima beasiswa se Indonesia; satu-satunya perwakilan Sumatera Utara.Siapa dia? Siapa dia?
Ndak ada yang percaya. Tidak juga sahabat sendiri - yang dengan ringannya bertanya tanpa merasa bersalah,"Kok bisa kau sih yang lolos?"
Aku memang tertawa waktu itu didepannya, meski ucapannya menamparku berkali-kali hingga akhirnya aku bertanya depan kaca. Akh, masak aku ga ada tampilan sama sekali bisa menerima beasiswa? Namun yang setelah kucek dan kubanding-bandingkan dengan teman yang lain, ternyata memang ga ada tampang hehehe..
Aku hanyalah perempuan biasa dari keluarga biasa yang mengerjakan pekerjaan yang biasa dan bedanya hanyalah aku selalu bermimpi sekolah ke luar negeri. Sejak dulu-sejak kecil dulu- tiap kali ada film barat terus aku lihat ada adegan yang ada saljunya, aku langsung saja berlari ke depan tipi terus menempelkan tanganku disana dan sok misterius mengucap kalimat, "Pengen kesana," atau 'kumakan ko (salju) nanti'. Dan aku memelihara mimpi itu terus dan terus hingga Januari 2012, salju datang dengan derasnya. Aku takjub. Meski dingin aku menari bak orang gila ditengah terpaannya, ditonton teman-teman asrama dan orang-orang bule yang kebetulan melintas dengan terburu-buru. Aku menepati janjiku, aku memakan salju itu walaupun teman-teman melarangku mati-matian dengan seribu alasan kalau salju itu sudah terkontaminasi zat kimia dan lain sebagainya. Tapi aku tidak peduli. Dari dulu aku pengen tahu bagaimana rasanya. Apakah sama dengan es serut tanpa rasa ? Dan memang benar, bentuk, tekstur dan rasa sama kayak es serut tanpa markisa alias tak ada rasa hahaha
Balik ke pertanyaan lantas usai tamat mau apa?
Akh! Kali ini aku terdengar lebay. Sungguh, aku takut dengan ekspetasi orang sekembalinya aku. Aku masih pribadi yang sama, masih dengan keterbatasan yang sama dalam bercas-cis-cus. Aku masih yang dulu, dengan mimpi yang sama, dengan kebiasaan yang sama. Tidak banyak yang berubah (kalau tak mau dibilang aku begini-gini saja). Tapi orang mulai mengira lidahku jadi lidah bule. Makannya tidak lagi tempe tapi keju. Kalau aku sudah tidak bisa bilang ko tapi jadi you dengan aksen Cinta Laura. Orang juga sudah mengira kalau cara berpakaianku mulai berani terbuka atau malah sudah terbuka sekalian, kalau aku sudah tak perawan karena bule-bule suka cewek eksotis kayak aku. Padahal sumpe, aku masih yang dulu- masih suka ikan teri dibanding spageti- masih bilang ko untuk menunjuk kau atau kamu - masih berupaya tampil sopan tanpa menunjukkan belahan dada, paha dan anggota tubuh pribadi lainnya - dan tentu saja masih perawan karena memang cowokku bukan pria bule tapi jawa solo. Jadi aku masih yang dulu.
Jadi sejak pagi hingga aku menuliskan ini aku mendapat hikmat dariNya. "Kalau Tuhan telah memberiku beasiswa, DIA juga Allah yang sama akan memberikan yang terbaik buatku. Nggak perlu takut, bego!"
Comments