Tulisan kedua saya yang terbit di harian Medan Bisnis, Kamis (1 April 2010) hal. 2 "Peluang Etnis Tionghoa di Pemilukada Medan"
PELUANG ETNIS TIONGHOA DI PEMILUKADA MEDAN
Novita Sianipar
Anggota Forum Jurnalis Perempuan Sumatera Utara
Alumni FISIP USU
Sebanyak 10 pasangan calon walikota dan wakil walikota Medan kini sudah siap “bertarung” dalam pemilukada yang dijadwalkan 12 Mei mendatang. Yang menarik dalam pesta demokrasi kali ini adalah munculnya Sofyan Tan. Berpasangan dengan Nelly Armayanti, mereka diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Damai Sejahtera (PDS).
Bukan bermaksud primodialisme, namun Sofyan Tan menjadi satu-satunya warga etnis Tionghoa yang maju bertarung merebut kursi nomor satu di lingkungan eksekutif Kota Medan.
Sofyan Tan juga yang untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilihan kepala daerah di provinsi Sumatera Utara yang merupakan warga negara keturunan. Bagaimana kesempatan Sofyan Tan dalam pemilukada nanti? Bisakah masyarakat Medan menerima seorang warga Tionghoa untuk menjadi pemimpin?
Maafkan saya. Saya pribadi tidak nyaman memperbincangkan status etnis dalam sebuah pemilihan kepala daerah. Karena toh undang-undang tidak menjadikan etnis sebagai syarat untuk seseorang maju sebagai kepala daerah. Setiap warga negara yang berusia 30 tahun berhak untuk dipilih sebagai kepala daerah. Namun tidak memperbincangkannnya bukan berarti bahasan itu tidak ada.
Di Indonesia, Sofyan Tan sebenarnya bukan warga Tionghoa pertama yang maju sebagai calon kepala daerah. Di beberapa daerah, sejumlah tokoh etnis Tionghoa telah duduk dan terpilih sebagai kepala daerah. Misalnya saja Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal sebagai BTP.
Tahun 2005, Basuki melenggang maju menjadi orang nomor satu di Kabupaten Belitung Timur. Basuki yang merupakan warga Tionghoa itu menang dan menjadi bupati di sentra daerah yang mayoritas melayu muslim untuk periode 2005 -2010.
Pada catatan Wikipedia dikatakan Partai Bulan Bintang (PBB) terpaksa mengakui kepopuleran Basuki meski Belitung Timur adalah lumbung suara bagi PBB dalam pemilu legislative 2004 silam.
Meski termasuk warga keturunan, Basuki besar dengan kebiasaan dan adat budaya setempat. Basuki kecil bahkan sempat belajar membaca dan menulis ayat suci Al quran. Teman-teman terdekatnya menjulukinya minoritas ganda. Disebut begitu karena semangat nasionalismenya yang begitu tinggi.
Basuki memang memiliki semangat pembauran yang tinggi. Itulah sebabnya ketika tahun 2007, dia mencalonkan diri lagi sebagai gubernur Babel, tidak tanggung-tanggung, mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendukung penuh Basuki dan ikut berkampanye baginya.
Majalah Tempo juga tidak sungkan-sungkan menobatkannya sebagai salah satu dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia. Di bawah pemerintahannya Basuki memberikan pendidikan gratis mulai tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas bagi masyarakat Belitung Timur.
Meski kalah dalam pemilihan gubernur Babel, Ahok- panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama pernah menunjukkan kepada kita bahwa orang Tionghoa pun bisa merebut simpati masyarakat yang mayoritas muslim. Sekaligus menunjukkan kemampuannya dalam memimpin suatu daerah.
Contoh lain di Provinsi Sulawesi Utara, 2 bupati dan satu walikota berasal dari etnis Tionghoa. Berdasarkan catatan dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi Mahyudin Damis yang dimuat di tajuk tamu Tribun Manado (Jumat, 12 Februari 2010) berjudul “ Warga Tionghoa dan Pilkada”; ada 4 hal yang membuat keberhasilan warga Tionghoa menjadi kepala daerah disana.
Pertama, budaya masyarakat Sulawesi Utara (Sulut) yang sangat terbuka bagi pendatang. Kedua, proses asimilasi yang dilakukan warga Tionghoa. Mereka dengan senang hati menggunakan marga Sulut seperti Kansil, Sondakh, Supit dsb. Ketiga, perubahan politik dan kepimpinan nasional yang kini mendukung perkembangan budaya dan keempat, imej warga Tionghoa yang kaya.
Mari kita menganalisa memakai 4 kriteria Mahyudin Damis di atas. Pertama, warga Medan sebagai warga yang multi etnik terkenal dengan keterbukaanya bagi pendatang. Namun sebagai pendatang, etnis Tionghoa gagap atau tidak berhasil melakukan asimilasi dengan warga setempat. Cara paling mudah melihatnya ialah dengan mendengarkan bahasa yang dipakai warga Tionghoa jika bertemu di tempat umum.
Mereka cenderung memakai bahasa Hokkian. Selain itu sejumlah sengketa tenaga kerja juga menjadi bentuk lain dari gagalnya asimilasi antara etnis Tionghoa dan pribumi. Dengarkan saja teriakan karyawan hotel Soechi International ketika berunjuk rasa menuntut haknya. Mereka berteriak cina. Teriakan itu menggambarkan jurang pemisah yang lebar antara warga Tionghoa dan warga pribumi. Sedangkan kriteria ketiga dan keempat hanyalah hasil tambahan dari 2 kriteria pertama.
Bagaimana dengan sosok Sofyan Tan ? Apakah warga Tionghoa ini bisa menjadi Basuki berikutnya ? Sofyan Tan memang bukan warga Tionghoa sembarangan. Sederet prestasi dan jabatan bergengsi diraihnya. Bahkan tahun 1989 saja, Sofyan Tan dalam usahanya melakukan promosi toleransi antar sesama mendapat penghargaan bergengsi, Ashoka Fellowship Award. Saking bergemanya nama itu, lembaga-lembaga donor pun mempercayainya untuk mengelola dana besar untuk pemberdayaan alam dan kemasyarakatan. Sofyan Tan menjadi orang yang paling dicari di dunia internasional jika menyangkut alam dan masyarakat Indonesia.
Sebutkan satu nama yang berkaitan dengan sejarah Medan ? Nama yang paling banyak disebut adalah Tjong A Fie. Seorang warga Tionghoa yang membangun Medan dari nol. Rumah dan kawasan Kesawan Squre bahkan menjadi situs sejarah resmi yang diakui oleh pemerintah kota Medan. Meski Tjong A Fie adalah orang Tionghoa, tidak ada seorang pun yang berani menggugat pengabdiannya dan kerja kerasnya membangun Medan. Namun citra Tjong A Fie bukanlah hasil kerja semalam. Dia membangunnya sedikit demi sedikit. Bukan dibangun ketika mau naik ke atas. Tapi terbangun oleh kerja keras yang tidak putus. Suatu kemampuan yang timbul dan menonjol bukan karena pencitraan media massa sesaat tapi pencitraan yang terrefleksi dari kerja keras bertahun-tahun yang terus bermanfaat bagi generasi mendatang.
Tapi siapakah sosok Sofyan Tan bagi warga Medan ? Dia dan tim suksesnya perlu kerja keras untuk menjelaskan ini.
Novita Sianipar
Anggota Forum Jurnalis Perempuan Sumatera Utara
Alumni FISIP USU
Sebanyak 10 pasangan calon walikota dan wakil walikota Medan kini sudah siap “bertarung” dalam pemilukada yang dijadwalkan 12 Mei mendatang. Yang menarik dalam pesta demokrasi kali ini adalah munculnya Sofyan Tan. Berpasangan dengan Nelly Armayanti, mereka diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Damai Sejahtera (PDS).
Bukan bermaksud primodialisme, namun Sofyan Tan menjadi satu-satunya warga etnis Tionghoa yang maju bertarung merebut kursi nomor satu di lingkungan eksekutif Kota Medan.
Sofyan Tan juga yang untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilihan kepala daerah di provinsi Sumatera Utara yang merupakan warga negara keturunan. Bagaimana kesempatan Sofyan Tan dalam pemilukada nanti? Bisakah masyarakat Medan menerima seorang warga Tionghoa untuk menjadi pemimpin?
Maafkan saya. Saya pribadi tidak nyaman memperbincangkan status etnis dalam sebuah pemilihan kepala daerah. Karena toh undang-undang tidak menjadikan etnis sebagai syarat untuk seseorang maju sebagai kepala daerah. Setiap warga negara yang berusia 30 tahun berhak untuk dipilih sebagai kepala daerah. Namun tidak memperbincangkannnya bukan berarti bahasan itu tidak ada.
Di Indonesia, Sofyan Tan sebenarnya bukan warga Tionghoa pertama yang maju sebagai calon kepala daerah. Di beberapa daerah, sejumlah tokoh etnis Tionghoa telah duduk dan terpilih sebagai kepala daerah. Misalnya saja Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal sebagai BTP.
Tahun 2005, Basuki melenggang maju menjadi orang nomor satu di Kabupaten Belitung Timur. Basuki yang merupakan warga Tionghoa itu menang dan menjadi bupati di sentra daerah yang mayoritas melayu muslim untuk periode 2005 -2010.
Pada catatan Wikipedia dikatakan Partai Bulan Bintang (PBB) terpaksa mengakui kepopuleran Basuki meski Belitung Timur adalah lumbung suara bagi PBB dalam pemilu legislative 2004 silam.
Meski termasuk warga keturunan, Basuki besar dengan kebiasaan dan adat budaya setempat. Basuki kecil bahkan sempat belajar membaca dan menulis ayat suci Al quran. Teman-teman terdekatnya menjulukinya minoritas ganda. Disebut begitu karena semangat nasionalismenya yang begitu tinggi.
Basuki memang memiliki semangat pembauran yang tinggi. Itulah sebabnya ketika tahun 2007, dia mencalonkan diri lagi sebagai gubernur Babel, tidak tanggung-tanggung, mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendukung penuh Basuki dan ikut berkampanye baginya.
Majalah Tempo juga tidak sungkan-sungkan menobatkannya sebagai salah satu dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia. Di bawah pemerintahannya Basuki memberikan pendidikan gratis mulai tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas bagi masyarakat Belitung Timur.
Meski kalah dalam pemilihan gubernur Babel, Ahok- panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama pernah menunjukkan kepada kita bahwa orang Tionghoa pun bisa merebut simpati masyarakat yang mayoritas muslim. Sekaligus menunjukkan kemampuannya dalam memimpin suatu daerah.
Contoh lain di Provinsi Sulawesi Utara, 2 bupati dan satu walikota berasal dari etnis Tionghoa. Berdasarkan catatan dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi Mahyudin Damis yang dimuat di tajuk tamu Tribun Manado (Jumat, 12 Februari 2010) berjudul “ Warga Tionghoa dan Pilkada”; ada 4 hal yang membuat keberhasilan warga Tionghoa menjadi kepala daerah disana.
Pertama, budaya masyarakat Sulawesi Utara (Sulut) yang sangat terbuka bagi pendatang. Kedua, proses asimilasi yang dilakukan warga Tionghoa. Mereka dengan senang hati menggunakan marga Sulut seperti Kansil, Sondakh, Supit dsb. Ketiga, perubahan politik dan kepimpinan nasional yang kini mendukung perkembangan budaya dan keempat, imej warga Tionghoa yang kaya.
Mari kita menganalisa memakai 4 kriteria Mahyudin Damis di atas. Pertama, warga Medan sebagai warga yang multi etnik terkenal dengan keterbukaanya bagi pendatang. Namun sebagai pendatang, etnis Tionghoa gagap atau tidak berhasil melakukan asimilasi dengan warga setempat. Cara paling mudah melihatnya ialah dengan mendengarkan bahasa yang dipakai warga Tionghoa jika bertemu di tempat umum.
Mereka cenderung memakai bahasa Hokkian. Selain itu sejumlah sengketa tenaga kerja juga menjadi bentuk lain dari gagalnya asimilasi antara etnis Tionghoa dan pribumi. Dengarkan saja teriakan karyawan hotel Soechi International ketika berunjuk rasa menuntut haknya. Mereka berteriak cina. Teriakan itu menggambarkan jurang pemisah yang lebar antara warga Tionghoa dan warga pribumi. Sedangkan kriteria ketiga dan keempat hanyalah hasil tambahan dari 2 kriteria pertama.
Bagaimana dengan sosok Sofyan Tan ? Apakah warga Tionghoa ini bisa menjadi Basuki berikutnya ? Sofyan Tan memang bukan warga Tionghoa sembarangan. Sederet prestasi dan jabatan bergengsi diraihnya. Bahkan tahun 1989 saja, Sofyan Tan dalam usahanya melakukan promosi toleransi antar sesama mendapat penghargaan bergengsi, Ashoka Fellowship Award. Saking bergemanya nama itu, lembaga-lembaga donor pun mempercayainya untuk mengelola dana besar untuk pemberdayaan alam dan kemasyarakatan. Sofyan Tan menjadi orang yang paling dicari di dunia internasional jika menyangkut alam dan masyarakat Indonesia.
Sebutkan satu nama yang berkaitan dengan sejarah Medan ? Nama yang paling banyak disebut adalah Tjong A Fie. Seorang warga Tionghoa yang membangun Medan dari nol. Rumah dan kawasan Kesawan Squre bahkan menjadi situs sejarah resmi yang diakui oleh pemerintah kota Medan. Meski Tjong A Fie adalah orang Tionghoa, tidak ada seorang pun yang berani menggugat pengabdiannya dan kerja kerasnya membangun Medan. Namun citra Tjong A Fie bukanlah hasil kerja semalam. Dia membangunnya sedikit demi sedikit. Bukan dibangun ketika mau naik ke atas. Tapi terbangun oleh kerja keras yang tidak putus. Suatu kemampuan yang timbul dan menonjol bukan karena pencitraan media massa sesaat tapi pencitraan yang terrefleksi dari kerja keras bertahun-tahun yang terus bermanfaat bagi generasi mendatang.
Tapi siapakah sosok Sofyan Tan bagi warga Medan ? Dia dan tim suksesnya perlu kerja keras untuk menjelaskan ini.
Comments