Tulisan saya ini dimuat di Harian Medan Bisnis Kamis (25/2) di Rubrik Wacana
JUDUL: Memilih (Bukan) Karena Dia Perempuan
Novita Sianipar, anggota Forum Jurnalis Perempuan Sumatera Utara
12 pasang kandidat telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota Medan untuk maju sebagai walikota dan wakil walikota Medan. Dua diantaranya adalah perempuan yang berada di posisi wakil walikota.
Siapa mereka, anda tinggal surfing di internet ketikkan nama Nurlisa Ginting atau Nelly Armayanti dan paman Google akan memberikan informasi yang luas tentang mereka.
Majunya dua kandidat perempuan ini memang memberikan warna baru bagi pemilihan kepala daerah di kota Medan. Untuk pertama kalinya paket yang diajukan partai adalah kombinasi berdasar jenis kelamin. Namun yang membuat saya tidak nyaman adalah pernyataan pimpinan partai yang menyatakan kandidat perempuan dipasang dengan harapan bisa meraup suara perempuan. Untuk kota Medan memang suara pemilih perempuan lebih banyak sekitar 60 % dibandingkan laki-laki.
Jika logika ini dipakai mengapa tidak memasang kandidat laki-laki berwajah ganteng dengan tubuh atletis karena pada dasarnya perempuan diciptakan dengan ketertarikan kepada laki-laki. Toh logika berpikir ini pernah dipakai capres Megawati Soekarno Putri menyindir capres SBY dalam kampanye akbarnya di Lapangan Merdeka Medan pada pemilu presiden tahun 2009 silam. Megawati dengan gaya ibu-ibunya menyatakan agar pemilih tidak terkecoh dengan penampilan ganteng SBY. Megawati bahkan mengatakan wakilnya Prabowo Subianto juga sosok yang ganteng.
Hasil pemilu memang sepertinya menjawab logika berpikir itu. SBY menang telak atas Megawati. Kalaulah ternyata logika berpikir Megawati muncul karena ketakutan atas perbedaan jenis kelamin, itu berarti peluang kandidat laki-laki apalagi yang wajahnya ganteng seperti Dude Herlino lebih besar dibanding dengan kandidat perempuan.
Logika berpikir Megawati juga terasa makin benar karena dalam pemilu legislative yang lalu, caleg laki-laki kemudian lebih banyak terpilih dan duduk di DPR RI. Padahal dengan total pemilih perempuan yang 51 % lebih banyak dibandingkan laki-laki, seharusnya caleg perempuan lebih berpeluang untuk dipilih daripada laki-laki. Itu jika perempuan pilih perempuan. Kenyataannya pemilih perempuan belum tentu pilih perempuan. Mereka justru punya kecenderungan yang besar memilih kandidat laki-laki.
Tahun 2009 lalu, aktifivis perempuan khususnya di Sumatera Utara menggagas gerakan Perempuan Pilih Perempuan. Gerakan ini bermaksud memobilisasi perempuan untuk memberikan suaranya kepada caleg perempuan. Kenyataannya berdasarkan catatan CETRO dari Rapat Pleno KPU pada tanggal 24 Mei 2009 yang dimuat di harian Waspada, Rabu 1 Juli 2009, caleg perempuan terpilih hanya 15 %. Masih berdasarkan catatan CETRO, angka yang masih tergolong rendah ini ternyata justru telah mengalami peningkatan dari pemilu legislative tahun 2004 yang hanya 11, 09 %.
Lantas, pertanyaannya mengapa perempuan tidak memilih perempuan ?
Sebagai perempuan, saya mengaamini perkataan teman-teman perempuan saya jika perempuanlah yang paling mengerti hati perempuan. Tapi kenapa, kalimat sederhana ini sepertinya tidak berlaku dalam politik. Seharusnya sebagai perempuan, anggota legislative perempuan bisa menggagas lahirnya produk-produk hukun yang ramah dan melindungi perempuan. Namun kenyataannya sejak 2 periode terakhir saja, DPRD Sumatera Utara hanya menghasilkan satu Perda yang mengatur tentang perlindungan terhadap trafiking dan DPRD Medan juga hanya menghasilkan satu Perda tentang Kesehatan Ibu dan Anak (KIBLA)
Padahal dalam mekanisme pengajuan sebuah ranperda hanya diperlukan usul lebih dari satu orang saja sehingga dengan jumlah anggota legislative perempuan yang terus bertambah seharusnya sudah lebih banyak Perda ramah perempuan yang bisa dihasilkan.
Kinerja perempuan di DPRD Sumatera juga dinilai masih mengecewakan. Dalam sebuah wawancara ekslusif Radio Prapanca Trijaya Medan tanggal 19 Febuari lalu, Ketua Fraksi PKS Timbas Tarigan secara terang-terangan menilai kinerja rekannya yang perempuan lebih banyak duduk, diam dan mendengarkan. Timbas bahkan mengklaim perda Trafiking tersebut bukan lahir dari gagasan anggota legislatif yang perempuan tapi dari anggota legislatif laki-laki.
Sebagai jurnalis yang biasanya meliput di DPRD Medan dalam beberapa kali rapat paripurna dewan, saya juga melihat anggota dewan yang perempuan lebih banyak duduk dan mendengarkan. Memang ada satu orang anggota perempuan dari Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Lily Tan yang sering mengutarakan pendapat dan pertanyaan ketika rapat berlangsung, tapi dari 50 anggota DPRD yang ada, kinerja anggota legislatif perempuan yang satu itu tidak memberikan pengaruh besar untuk mewakili kepentingan perempuan.
Dengan jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki; memperoleh suara mereka adalah penting untuk terpilih. Namun perlu strategi jitu lebih dari sekedar jenis kelamin yang sama. Saya akan memilih kandidat (bukan) karena dia perempuan. Saya memilih mereka yang mewakili kepentingan saya.
Saya yakin baik Nurlisa Ginting maupun Nelly Armayanti akan lebih bangga terpilih karena kualitas yang melekat pada diri mereka bukan karena jenis kelamin mereka.
JUDUL: Memilih (Bukan) Karena Dia Perempuan
Novita Sianipar, anggota Forum Jurnalis Perempuan Sumatera Utara
12 pasang kandidat telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota Medan untuk maju sebagai walikota dan wakil walikota Medan. Dua diantaranya adalah perempuan yang berada di posisi wakil walikota.
Siapa mereka, anda tinggal surfing di internet ketikkan nama Nurlisa Ginting atau Nelly Armayanti dan paman Google akan memberikan informasi yang luas tentang mereka.
Majunya dua kandidat perempuan ini memang memberikan warna baru bagi pemilihan kepala daerah di kota Medan. Untuk pertama kalinya paket yang diajukan partai adalah kombinasi berdasar jenis kelamin. Namun yang membuat saya tidak nyaman adalah pernyataan pimpinan partai yang menyatakan kandidat perempuan dipasang dengan harapan bisa meraup suara perempuan. Untuk kota Medan memang suara pemilih perempuan lebih banyak sekitar 60 % dibandingkan laki-laki.
Jika logika ini dipakai mengapa tidak memasang kandidat laki-laki berwajah ganteng dengan tubuh atletis karena pada dasarnya perempuan diciptakan dengan ketertarikan kepada laki-laki. Toh logika berpikir ini pernah dipakai capres Megawati Soekarno Putri menyindir capres SBY dalam kampanye akbarnya di Lapangan Merdeka Medan pada pemilu presiden tahun 2009 silam. Megawati dengan gaya ibu-ibunya menyatakan agar pemilih tidak terkecoh dengan penampilan ganteng SBY. Megawati bahkan mengatakan wakilnya Prabowo Subianto juga sosok yang ganteng.
Hasil pemilu memang sepertinya menjawab logika berpikir itu. SBY menang telak atas Megawati. Kalaulah ternyata logika berpikir Megawati muncul karena ketakutan atas perbedaan jenis kelamin, itu berarti peluang kandidat laki-laki apalagi yang wajahnya ganteng seperti Dude Herlino lebih besar dibanding dengan kandidat perempuan.
Logika berpikir Megawati juga terasa makin benar karena dalam pemilu legislative yang lalu, caleg laki-laki kemudian lebih banyak terpilih dan duduk di DPR RI. Padahal dengan total pemilih perempuan yang 51 % lebih banyak dibandingkan laki-laki, seharusnya caleg perempuan lebih berpeluang untuk dipilih daripada laki-laki. Itu jika perempuan pilih perempuan. Kenyataannya pemilih perempuan belum tentu pilih perempuan. Mereka justru punya kecenderungan yang besar memilih kandidat laki-laki.
Tahun 2009 lalu, aktifivis perempuan khususnya di Sumatera Utara menggagas gerakan Perempuan Pilih Perempuan. Gerakan ini bermaksud memobilisasi perempuan untuk memberikan suaranya kepada caleg perempuan. Kenyataannya berdasarkan catatan CETRO dari Rapat Pleno KPU pada tanggal 24 Mei 2009 yang dimuat di harian Waspada, Rabu 1 Juli 2009, caleg perempuan terpilih hanya 15 %. Masih berdasarkan catatan CETRO, angka yang masih tergolong rendah ini ternyata justru telah mengalami peningkatan dari pemilu legislative tahun 2004 yang hanya 11, 09 %.
Lantas, pertanyaannya mengapa perempuan tidak memilih perempuan ?
Sebagai perempuan, saya mengaamini perkataan teman-teman perempuan saya jika perempuanlah yang paling mengerti hati perempuan. Tapi kenapa, kalimat sederhana ini sepertinya tidak berlaku dalam politik. Seharusnya sebagai perempuan, anggota legislative perempuan bisa menggagas lahirnya produk-produk hukun yang ramah dan melindungi perempuan. Namun kenyataannya sejak 2 periode terakhir saja, DPRD Sumatera Utara hanya menghasilkan satu Perda yang mengatur tentang perlindungan terhadap trafiking dan DPRD Medan juga hanya menghasilkan satu Perda tentang Kesehatan Ibu dan Anak (KIBLA)
Padahal dalam mekanisme pengajuan sebuah ranperda hanya diperlukan usul lebih dari satu orang saja sehingga dengan jumlah anggota legislative perempuan yang terus bertambah seharusnya sudah lebih banyak Perda ramah perempuan yang bisa dihasilkan.
Kinerja perempuan di DPRD Sumatera juga dinilai masih mengecewakan. Dalam sebuah wawancara ekslusif Radio Prapanca Trijaya Medan tanggal 19 Febuari lalu, Ketua Fraksi PKS Timbas Tarigan secara terang-terangan menilai kinerja rekannya yang perempuan lebih banyak duduk, diam dan mendengarkan. Timbas bahkan mengklaim perda Trafiking tersebut bukan lahir dari gagasan anggota legislatif yang perempuan tapi dari anggota legislatif laki-laki.
Sebagai jurnalis yang biasanya meliput di DPRD Medan dalam beberapa kali rapat paripurna dewan, saya juga melihat anggota dewan yang perempuan lebih banyak duduk dan mendengarkan. Memang ada satu orang anggota perempuan dari Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Lily Tan yang sering mengutarakan pendapat dan pertanyaan ketika rapat berlangsung, tapi dari 50 anggota DPRD yang ada, kinerja anggota legislatif perempuan yang satu itu tidak memberikan pengaruh besar untuk mewakili kepentingan perempuan.
Dengan jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki; memperoleh suara mereka adalah penting untuk terpilih. Namun perlu strategi jitu lebih dari sekedar jenis kelamin yang sama. Saya akan memilih kandidat (bukan) karena dia perempuan. Saya memilih mereka yang mewakili kepentingan saya.
Saya yakin baik Nurlisa Ginting maupun Nelly Armayanti akan lebih bangga terpilih karena kualitas yang melekat pada diri mereka bukan karena jenis kelamin mereka.
Comments