Sudah lama sekali tidak menulis di blog ini. Ini blog yang pertama setelah kepulanganku dari Israel.
Aku ingin menceritakannya dengan detail; yah sejauh yang kuingat dan bisa aku bagikan.
Aku di Israel 17 hari. Berangkat dari Singapura pada tanggal 26 September dengan 18 jam perjalanan, lantas transit di Paris selama 4 jam dan kemudian berangkat ke Ben Gurion Tel Aviv dengan 5 jam perjalanan.
Perjalanan ke Israel seperti perjalanan pulang ke rumah karena memang begitulah adanya.
Bertahun-tahun lamanya sejak aku SMP, aku selalu bermimpi tentang sebuah rumah berbentuk kotak dengan jenis tembok dari batu yang besar. Rumah itu; rumahku itu terletak diatas bukit dengan pemandangan indah di sekelilingnya. Rumah itu begitu besar dengan kamar yang begitu banyak dan semuanya berbentuk kotak. Alangkah anehnya karena sebagai anak tunggal sangatlah menggelikan membayangkan rumah segede itu dengan kamar-kamar yang banyaknya minta ampun. Tapi begitulah yang kuimpikan bertahun-tahun. Mimpi tentang sebuah rumah yang selalu dalam keadaan sedang dibangun dan belum selesai.
Aku memimpikannya tidak teratur tetapi bisa kupastikan aku pasti memimpikannya sedikitnya 3 kali tiap tahunnya. Bangunan bentuk kotak di atas bukit yang tidak pernah selesai. Dan seperti orang gila, aku memceritakannya ke beberapa orang dan reaksinya, “Lupakan saja. Itu hanyalah bunga mimpi.” Tapi aku tahu itu tidak sekedar mimpi.
Hingga kemudian awal 2008 aku mimpi lagi tentang rumah itu. Kali ini rumah itu sudah selesai dan setelah itu aku tidak pernah bermimpi lagi.
Februari awal aku menjatuhkan aplikasi lamaran menjadi volunter di Israel dan baru awal bulan Agutus aku mendapatkan pemberitahuan kalau visaku diterima. Apakah aku senang ? Yah. Tentu saja. Tapi uang menjadi persoalan utama yang kemudian benar-benar membawaku ke kelas bergantung penuh dengan Tuhan.
Aku mulai menyusun proposal dan seperti yang kuduga ejekan pun mengalir seiring dengannya. Nggak masalah sih jika yang mengejek itu adalah orang lain. Tapi kalau sahabat sendiri ? Namun itulah hidup. Besi menajamkan besi dan manusia menajamkan manusia lainnya. Aku bersyukur ada dalam kelas itu karena membuatku tahu siapa yang layak disebut sahabat. Sahabat sejati justru lahir dari penderitaan dan penolakan.
Aku mengajukan proposal ke gereja dan yang kudapat hanya makian. Kalian harus percaya itulah yang kuperoleh dari pimpinanku. Menyakitkan dipermalukan di depan orang lain, dimaki, direndahkan dan tetap nggak dibantu. Tidak sepeser pun. Aku pun menangis. Rasanya ? Sakit sekali!!
Minggu pagi aku aku datang menghadap Tuhan; untuk kesekian kalinya. Aku katakan aku tetap mengasihiNya dan aku menikmati semua proses yang telah terjadi. Aku katakan aku bersyukur bisa mengalami banyak hal bersama dengan Tuhan dan meskipun aku tidak bisa ke Israel; itu nggak penting lagi karena aku tahu sebagaimana yang selalu Tuhan ajarkan “Yang penting adalah proses bukan hasil. Hasil hanyalah akibat akhir dari sebuah proses. Hasil yang baik tidak membuktikan proses yang baik. Tapi proses yang baik pasti membuahkan hasil yang baik dalam bentuknya.”
Pada saat itulah; saat aku menyerah total itulah – langit terbuka sempurna. Seseorang meneleponku dan mengatakan aku mendapat donasi yang bahkan lebih besar dari yang kubutuhkan. Ajaib ? Yah!!!! DIA emang ajaib; dengan caraNya.
Aku pun berangkat dan tiba di Israel hari Sabtu malam (27/9). Aku bertemu dengan Yahudi pertamaku. Namanya Musa. Dengan rambutnya yang pirang gondrong, tinggi dan cakep, aku berpikir aku telah bertemu dengan saudaranya Jesús hahahhahahhahha. Dia bekerja sebagai tenaga social di negeri Paman Sam. Kami bertukar imel tapi hingga kini aku tidak pernah menggunakannya.
Dari Ben Gurion aku naik bus umum bandara. Namanya Neshir. Hanya 60 NIS dari bandara hingga ke hotel Grand Hayatt Jerusalem. Hm, sekitar 45 menit perjalanan. Disana Asamat dan Joanna (kelak akan menjadi teman sekamarku) menjemput dan membawaku ke Big House.
Malam telah larut saat aku tiba. Seharusnya aku lelah dengan 23 jam perjalanan yang panjang tapi tidak. Aku tiba di big house dengan perasaan takjub dan masih tidak percaya aku akhirnya tiba di Israel.
Joanna membawaku ke dapur dan memintaku memilih makanan yang kumau.
“Nasi, boleh ? “ pintaku malu. Aku laper setengah mati dan ingin sekali makan makanan yang kukenal. Selama diperjalanan aku selalu disuguhi roti, salad dan makanan lain yang membuatku mau muntah karena bau dan rasa yang aneh kecuali bentuk dan warna makanannya selalu menarik. Entah kenapa.
Aku melahap nasi itu dengan rakus dan ternyata itu nasiku yang terakhir untuk sepekan mendatang oh mama……
Aku mendapat kamar persis di depan kamar mandi. Aku menyukainya karena aku suka pipis. Tuhan pengertian banget yah.
Aku tidur sesegera aku menyentuh kasur. Teman sekamarku ada 3 orang yakni Joanna asal England, Adriana asal Holland dan si cerewet Isabel asal South Afrika. Ketiganya adalah oma-oma.
Aku bangun jam 10 dan nyaris nggak dapat sarapan pagi. Aku masih tidak percaya telah berada dimana sampai kemudian lebih tidak percaya lagi dengan apa yang kulihat.
Dari balik kaca jendela di lantai dua aku melihatnya. Aku melihat rumah dalam mimpiku itu. Rumah kotak-kotak. Ternyata begitulah bentuk rumah di Israel. Kotak-kotak. Aku terduduk, speechless dan menangis. Ternyata Tuhan telah memanggilku ke Israel sejak aku SMP. DIA memanggilku pulang.
----------------------------------------------------------------------
Disana aku bekerja sebagai fotografer. Di acara konvokasi doa itu aku bertemu dengan banyak orang dari segala suku, bangsa dan bahasa. Disana aku mau tidak mau belajar banyak bahasa. Bahasa Inggris yang utama kemudian Francis dan yang terakhir Ibrani. Yah belajarlah sedikit-sedikit bahasa China. Entah mengapa disana aku secara menakjubkan bisa cepat adaptasi, bisa mengerti yang diperbincangkan dan nyambung.
Aku berusaha membangun jejaring, menceritakan situasi hubungan politik Indonesia – Israel dan berharap dapat dukungan untuk pemulihan hubungan itu. Mereka menanggapinya positif dan aku berharap sesuatu terjadi. Doakan yah.
Aku tidak banyak berkeliling selama di Israel. Pekerjaanku sebagai volunter benar-benar menyita waktu. Aku tidak mengeluh sama sekali. Hanya sekali saja aku begitu marah dan menangis begitu kuatnya. Yah persoalan budaya saja.
Orang Afrika punya budaya yang buruk mengenai gender. Mereka – kaum prianya – cenderung merendahkan kaum wanita. Dengan bahasa Inggris bercampur bahasa slank Afrika beberapa diantara mereka mengejek volunteer wanita termasuk diriku. Rasanya aku ingin menamparnya dan membalasnya dengan bahasa slank yang aku tahu pasti akan membuat mereka mampus. Tapi aku memilih lari sebelum kemarahan bersama air mataku turun di depan para makhluk hitam jelek itu. Aku lari ke taman dan menangis keras. Keras sekali karena aku benar-benar terluka. Aku tidak peduli meski aku tahu banyak peserta konvokasi sedang berada di taman.
Aku mengerang marah. Tidak terima dengan yang terjadi dan rasanya seperti beruang betina yang siap untuk mencakar-cakar mereka. Sulit sekali memaafkan mereka karena memang mereka telah menggunakan kalimat yang sangat keterlaluan. Sangat tidak pantas dan tidak sopan untuk disebutkan. Aku menceritakannya kepada Amy - sahabat terbaikku disana. Dia kaget dan mengajukan diri untuk melapor kepada Pieter (koordinator). Aku menolak. Kasihan Pieter. Dia sudah terlalu lelah dengan semua hal yang terjadi dan jangan sampai persoalan ini membuatnya tumbang.
Rencananya aku ingin mogok bicara dengan orang-orang Afrika itu tapi dalam perjalanan waktu justru Betty yang keturunan Afrika asal Missisipi menjadi sahabat dekatku. Kemudian ada Moses azal Zambia, Tristan asal Zimbabwe, Anna yang Afrika asal London dan Jacinta asal Uganda. Mereka beda. Mereka manis dan menyenangkan. Yah, begitulah cara Tuhan menghibur.
--------------------------------------------------------------------------
Roh Tuhan begitu kuat ketika konvokasi berlangsung. Adalah wajar jika kau melihat orang-orang saling mendoakan; mau di taman atau bahkan saat ngantri di depan toilet. Adalah wajar juga melihat orang tumbang saat didoakan atau melihat orang terus menerus tanpa bisa menghentikan lidahnya mengeluarkan bahasa-bahasa roh.
Setiap hari ada 4 sesi berlangsung yang diisi oleh 2 negara. Sesi itu berisi praise, worship dan berupa laporan mengenai pekerjaan Tuhan di negara mereka. Malamnya selalu diakhiri dengan sesi bagi kaum muda “Joshua Generation “. Sesi pertama dimulai jam 9 pagi dan berakhir jam 12 malam. Jadi, jam 7 pagi kami para volunter sudah harus berangkat dari big house trus mempersiapkan hall pertemuan dan jam 10 malam pulang ke big house. Untuk sesi kaum muda, itu selalu menjadi bagian tugasnya Jacky and the team. Good job girl!!
---------------------------------------------------------------------------
Tuhan berbicara banyak kepadaku. Bicara soal yang sangat pribadi. Aku menanggapinya antusias karena senang dengan pembentukan yang sedang DIA lakukan. Aku hampir tidak bisa melewatkan waktu untuk tidak masuk ke menara doa bersama Anna. Meski aneh karena selama berdoa aku memakai bahasa Indonesia dan Anna bahasa Afrika, tetap saja rasanya surga banget.
Disana cara pandangku diubah radikal. Sesuatu yang kuharapkan bisa tetap kujaga hingga aku bertemu muka dengan muka dengan DIA.
Aku minta ampun buat cara hidupku yang salah, buat pilihan-pilihan yang salah dan buat cara pandangku yang banyak merendahkan Tuhan tanpa aku sadari.
Aku menangisi pertunanganku yang putus, dan belajar mengampuni diriku sendiri. Aku bukan pihak yang salah dan penyebab putusnya pertunangan itu. Jalan Tuhan tidak selalu enak tapi pasti selalu baik dan itulah yang sebenarnya yang terjadi. Aku berhenti menyalahkan diri sendiri dan minta ampun buat perkara ini. Aku kemudian belajar menghargai diriku kembali karena Tuhan pun menghargai aku. Aku anak perempuanNya yang berharga.
Aku kini menatap masa depanku dengan cara yang berbeda. Sekalipun hingga usia 30 ini aku belum melihat siapa bapak dari anak-anakku kelak tapi aku bisa pastikan dia adalah pria yang mengasihi Tuhan sungguh-sungguh. Yang hatinya hanya untuk Tuhan, aku dan anak-anak kami.
Aku tidak tahu rupanya tapi aku yakin dia cakep.
Aku tidak tahu bagaimana sifatnya tapi aku yakin dia memiliki karakter Kritus Jesus dalam dirinya.
Aku tidak tahu bagaimana hobinya tapi aku berharap dia bisa menyanyi, main gitar dan benar-benar bisa masak.
Aku tidak tahu apa pekerjaannya tapi aku yakin pekerjaannya akan membuat kami selalu dapat memberi makan dan tumpangan bagi orang lain.
Aku tidak tahu seperti apa keluarga besarnya tapi aku yakin keluarganya adalah keluarga yang mengasihi Tuhan sungguh-sungguh dan mencintai aku dan keluargaku secara mutlak.
Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.
Kini aku mempersiapkan diriku bertemu dengannya. Aku menjaga hatiku dari percabulan dan belajar menguduskan tubuhku hanya untuk dia.
Tuhan bilang tunggu waktunya. Dan itulah yang sedang aku lakukan. AMIN!
Aku kembali ke Indonesia tanggal 13 Oktober. Aku tidak katakan aku pulang karena Israel adalah rumahku.
--------------------------------------------------------------------------
Jika mengingat kembali perjalanan menuju Israel itu, tidak bisa tidak aku takjub dengan Tuhan. Tidak mudah bagiku terbang ke suatu tempat yang jauh; yang belum pernah aku lihat. Bahkan tidak dalam peta. Aku selalu dipertemukan dengan orang yang tepat dan pesawat yang tepat. Jika melihat kedalam diriku, kau pasti tidak yakin aku bisa terbang sejauh itu seorang diri. Memang kau seharusnya tidak melihat kepadaku. LIHATLAH KEPADA TUHAN. DIA YANG MEMAMPUKAN AKU.
Aku ingin menceritakannya dengan detail; yah sejauh yang kuingat dan bisa aku bagikan.
Aku di Israel 17 hari. Berangkat dari Singapura pada tanggal 26 September dengan 18 jam perjalanan, lantas transit di Paris selama 4 jam dan kemudian berangkat ke Ben Gurion Tel Aviv dengan 5 jam perjalanan.
Perjalanan ke Israel seperti perjalanan pulang ke rumah karena memang begitulah adanya.
Bertahun-tahun lamanya sejak aku SMP, aku selalu bermimpi tentang sebuah rumah berbentuk kotak dengan jenis tembok dari batu yang besar. Rumah itu; rumahku itu terletak diatas bukit dengan pemandangan indah di sekelilingnya. Rumah itu begitu besar dengan kamar yang begitu banyak dan semuanya berbentuk kotak. Alangkah anehnya karena sebagai anak tunggal sangatlah menggelikan membayangkan rumah segede itu dengan kamar-kamar yang banyaknya minta ampun. Tapi begitulah yang kuimpikan bertahun-tahun. Mimpi tentang sebuah rumah yang selalu dalam keadaan sedang dibangun dan belum selesai.
Aku memimpikannya tidak teratur tetapi bisa kupastikan aku pasti memimpikannya sedikitnya 3 kali tiap tahunnya. Bangunan bentuk kotak di atas bukit yang tidak pernah selesai. Dan seperti orang gila, aku memceritakannya ke beberapa orang dan reaksinya, “Lupakan saja. Itu hanyalah bunga mimpi.” Tapi aku tahu itu tidak sekedar mimpi.
Hingga kemudian awal 2008 aku mimpi lagi tentang rumah itu. Kali ini rumah itu sudah selesai dan setelah itu aku tidak pernah bermimpi lagi.
Februari awal aku menjatuhkan aplikasi lamaran menjadi volunter di Israel dan baru awal bulan Agutus aku mendapatkan pemberitahuan kalau visaku diterima. Apakah aku senang ? Yah. Tentu saja. Tapi uang menjadi persoalan utama yang kemudian benar-benar membawaku ke kelas bergantung penuh dengan Tuhan.
Aku mulai menyusun proposal dan seperti yang kuduga ejekan pun mengalir seiring dengannya. Nggak masalah sih jika yang mengejek itu adalah orang lain. Tapi kalau sahabat sendiri ? Namun itulah hidup. Besi menajamkan besi dan manusia menajamkan manusia lainnya. Aku bersyukur ada dalam kelas itu karena membuatku tahu siapa yang layak disebut sahabat. Sahabat sejati justru lahir dari penderitaan dan penolakan.
Aku mengajukan proposal ke gereja dan yang kudapat hanya makian. Kalian harus percaya itulah yang kuperoleh dari pimpinanku. Menyakitkan dipermalukan di depan orang lain, dimaki, direndahkan dan tetap nggak dibantu. Tidak sepeser pun. Aku pun menangis. Rasanya ? Sakit sekali!!
Minggu pagi aku aku datang menghadap Tuhan; untuk kesekian kalinya. Aku katakan aku tetap mengasihiNya dan aku menikmati semua proses yang telah terjadi. Aku katakan aku bersyukur bisa mengalami banyak hal bersama dengan Tuhan dan meskipun aku tidak bisa ke Israel; itu nggak penting lagi karena aku tahu sebagaimana yang selalu Tuhan ajarkan “Yang penting adalah proses bukan hasil. Hasil hanyalah akibat akhir dari sebuah proses. Hasil yang baik tidak membuktikan proses yang baik. Tapi proses yang baik pasti membuahkan hasil yang baik dalam bentuknya.”
Pada saat itulah; saat aku menyerah total itulah – langit terbuka sempurna. Seseorang meneleponku dan mengatakan aku mendapat donasi yang bahkan lebih besar dari yang kubutuhkan. Ajaib ? Yah!!!! DIA emang ajaib; dengan caraNya.
Aku pun berangkat dan tiba di Israel hari Sabtu malam (27/9). Aku bertemu dengan Yahudi pertamaku. Namanya Musa. Dengan rambutnya yang pirang gondrong, tinggi dan cakep, aku berpikir aku telah bertemu dengan saudaranya Jesús hahahhahahhahha. Dia bekerja sebagai tenaga social di negeri Paman Sam. Kami bertukar imel tapi hingga kini aku tidak pernah menggunakannya.
Dari Ben Gurion aku naik bus umum bandara. Namanya Neshir. Hanya 60 NIS dari bandara hingga ke hotel Grand Hayatt Jerusalem. Hm, sekitar 45 menit perjalanan. Disana Asamat dan Joanna (kelak akan menjadi teman sekamarku) menjemput dan membawaku ke Big House.
Malam telah larut saat aku tiba. Seharusnya aku lelah dengan 23 jam perjalanan yang panjang tapi tidak. Aku tiba di big house dengan perasaan takjub dan masih tidak percaya aku akhirnya tiba di Israel.
Joanna membawaku ke dapur dan memintaku memilih makanan yang kumau.
“Nasi, boleh ? “ pintaku malu. Aku laper setengah mati dan ingin sekali makan makanan yang kukenal. Selama diperjalanan aku selalu disuguhi roti, salad dan makanan lain yang membuatku mau muntah karena bau dan rasa yang aneh kecuali bentuk dan warna makanannya selalu menarik. Entah kenapa.
Aku melahap nasi itu dengan rakus dan ternyata itu nasiku yang terakhir untuk sepekan mendatang oh mama……
Aku mendapat kamar persis di depan kamar mandi. Aku menyukainya karena aku suka pipis. Tuhan pengertian banget yah.
Aku tidur sesegera aku menyentuh kasur. Teman sekamarku ada 3 orang yakni Joanna asal England, Adriana asal Holland dan si cerewet Isabel asal South Afrika. Ketiganya adalah oma-oma.
Aku bangun jam 10 dan nyaris nggak dapat sarapan pagi. Aku masih tidak percaya telah berada dimana sampai kemudian lebih tidak percaya lagi dengan apa yang kulihat.
Dari balik kaca jendela di lantai dua aku melihatnya. Aku melihat rumah dalam mimpiku itu. Rumah kotak-kotak. Ternyata begitulah bentuk rumah di Israel. Kotak-kotak. Aku terduduk, speechless dan menangis. Ternyata Tuhan telah memanggilku ke Israel sejak aku SMP. DIA memanggilku pulang.
----------------------------------------------------------------------
Disana aku bekerja sebagai fotografer. Di acara konvokasi doa itu aku bertemu dengan banyak orang dari segala suku, bangsa dan bahasa. Disana aku mau tidak mau belajar banyak bahasa. Bahasa Inggris yang utama kemudian Francis dan yang terakhir Ibrani. Yah belajarlah sedikit-sedikit bahasa China. Entah mengapa disana aku secara menakjubkan bisa cepat adaptasi, bisa mengerti yang diperbincangkan dan nyambung.
Aku berusaha membangun jejaring, menceritakan situasi hubungan politik Indonesia – Israel dan berharap dapat dukungan untuk pemulihan hubungan itu. Mereka menanggapinya positif dan aku berharap sesuatu terjadi. Doakan yah.
Aku tidak banyak berkeliling selama di Israel. Pekerjaanku sebagai volunter benar-benar menyita waktu. Aku tidak mengeluh sama sekali. Hanya sekali saja aku begitu marah dan menangis begitu kuatnya. Yah persoalan budaya saja.
Orang Afrika punya budaya yang buruk mengenai gender. Mereka – kaum prianya – cenderung merendahkan kaum wanita. Dengan bahasa Inggris bercampur bahasa slank Afrika beberapa diantara mereka mengejek volunteer wanita termasuk diriku. Rasanya aku ingin menamparnya dan membalasnya dengan bahasa slank yang aku tahu pasti akan membuat mereka mampus. Tapi aku memilih lari sebelum kemarahan bersama air mataku turun di depan para makhluk hitam jelek itu. Aku lari ke taman dan menangis keras. Keras sekali karena aku benar-benar terluka. Aku tidak peduli meski aku tahu banyak peserta konvokasi sedang berada di taman.
Aku mengerang marah. Tidak terima dengan yang terjadi dan rasanya seperti beruang betina yang siap untuk mencakar-cakar mereka. Sulit sekali memaafkan mereka karena memang mereka telah menggunakan kalimat yang sangat keterlaluan. Sangat tidak pantas dan tidak sopan untuk disebutkan. Aku menceritakannya kepada Amy - sahabat terbaikku disana. Dia kaget dan mengajukan diri untuk melapor kepada Pieter (koordinator). Aku menolak. Kasihan Pieter. Dia sudah terlalu lelah dengan semua hal yang terjadi dan jangan sampai persoalan ini membuatnya tumbang.
Rencananya aku ingin mogok bicara dengan orang-orang Afrika itu tapi dalam perjalanan waktu justru Betty yang keturunan Afrika asal Missisipi menjadi sahabat dekatku. Kemudian ada Moses azal Zambia, Tristan asal Zimbabwe, Anna yang Afrika asal London dan Jacinta asal Uganda. Mereka beda. Mereka manis dan menyenangkan. Yah, begitulah cara Tuhan menghibur.
--------------------------------------------------------------------------
Roh Tuhan begitu kuat ketika konvokasi berlangsung. Adalah wajar jika kau melihat orang-orang saling mendoakan; mau di taman atau bahkan saat ngantri di depan toilet. Adalah wajar juga melihat orang tumbang saat didoakan atau melihat orang terus menerus tanpa bisa menghentikan lidahnya mengeluarkan bahasa-bahasa roh.
Setiap hari ada 4 sesi berlangsung yang diisi oleh 2 negara. Sesi itu berisi praise, worship dan berupa laporan mengenai pekerjaan Tuhan di negara mereka. Malamnya selalu diakhiri dengan sesi bagi kaum muda “Joshua Generation “. Sesi pertama dimulai jam 9 pagi dan berakhir jam 12 malam. Jadi, jam 7 pagi kami para volunter sudah harus berangkat dari big house trus mempersiapkan hall pertemuan dan jam 10 malam pulang ke big house. Untuk sesi kaum muda, itu selalu menjadi bagian tugasnya Jacky and the team. Good job girl!!
---------------------------------------------------------------------------
Tuhan berbicara banyak kepadaku. Bicara soal yang sangat pribadi. Aku menanggapinya antusias karena senang dengan pembentukan yang sedang DIA lakukan. Aku hampir tidak bisa melewatkan waktu untuk tidak masuk ke menara doa bersama Anna. Meski aneh karena selama berdoa aku memakai bahasa Indonesia dan Anna bahasa Afrika, tetap saja rasanya surga banget.
Disana cara pandangku diubah radikal. Sesuatu yang kuharapkan bisa tetap kujaga hingga aku bertemu muka dengan muka dengan DIA.
Aku minta ampun buat cara hidupku yang salah, buat pilihan-pilihan yang salah dan buat cara pandangku yang banyak merendahkan Tuhan tanpa aku sadari.
Aku menangisi pertunanganku yang putus, dan belajar mengampuni diriku sendiri. Aku bukan pihak yang salah dan penyebab putusnya pertunangan itu. Jalan Tuhan tidak selalu enak tapi pasti selalu baik dan itulah yang sebenarnya yang terjadi. Aku berhenti menyalahkan diri sendiri dan minta ampun buat perkara ini. Aku kemudian belajar menghargai diriku kembali karena Tuhan pun menghargai aku. Aku anak perempuanNya yang berharga.
Aku kini menatap masa depanku dengan cara yang berbeda. Sekalipun hingga usia 30 ini aku belum melihat siapa bapak dari anak-anakku kelak tapi aku bisa pastikan dia adalah pria yang mengasihi Tuhan sungguh-sungguh. Yang hatinya hanya untuk Tuhan, aku dan anak-anak kami.
Aku tidak tahu rupanya tapi aku yakin dia cakep.
Aku tidak tahu bagaimana sifatnya tapi aku yakin dia memiliki karakter Kritus Jesus dalam dirinya.
Aku tidak tahu bagaimana hobinya tapi aku berharap dia bisa menyanyi, main gitar dan benar-benar bisa masak.
Aku tidak tahu apa pekerjaannya tapi aku yakin pekerjaannya akan membuat kami selalu dapat memberi makan dan tumpangan bagi orang lain.
Aku tidak tahu seperti apa keluarga besarnya tapi aku yakin keluarganya adalah keluarga yang mengasihi Tuhan sungguh-sungguh dan mencintai aku dan keluargaku secara mutlak.
Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.
Kini aku mempersiapkan diriku bertemu dengannya. Aku menjaga hatiku dari percabulan dan belajar menguduskan tubuhku hanya untuk dia.
Tuhan bilang tunggu waktunya. Dan itulah yang sedang aku lakukan. AMIN!
Aku kembali ke Indonesia tanggal 13 Oktober. Aku tidak katakan aku pulang karena Israel adalah rumahku.
--------------------------------------------------------------------------
Jika mengingat kembali perjalanan menuju Israel itu, tidak bisa tidak aku takjub dengan Tuhan. Tidak mudah bagiku terbang ke suatu tempat yang jauh; yang belum pernah aku lihat. Bahkan tidak dalam peta. Aku selalu dipertemukan dengan orang yang tepat dan pesawat yang tepat. Jika melihat kedalam diriku, kau pasti tidak yakin aku bisa terbang sejauh itu seorang diri. Memang kau seharusnya tidak melihat kepadaku. LIHATLAH KEPADA TUHAN. DIA YANG MEMAMPUKAN AKU.
Comments
pny pengalaman pribadi dgn Tuhan sungguh heran ya ;)
salam kenal
salam kenal juga. kapan main ke medan?
Tante tidak habis mengerti mengapa ini terjadi.Mungkin sama tidak mengertinya dengan rakyat Israel atau Palaestina yang tidak tahu apa-apa tapi harus jadi pelaku perang atau jadi yang dikorbankan. Tapi yang tante tahu, Tuhan bukanlah Allah yang tidur. DIA akan membalaskan seseorang berdasarkan yang diperbuatnya.
salam buat mama yah sayang :)