Skip to main content

1001 kisah di Israel

Aku masih ingat ketika pergi ke perbatasan Israel- Palestina di daerah kota tua Jerusalem. Waktu itu niatnya hanya melihat-lihat saja. Maklum uang nggak ada untuk beli-beli. Tapi ternyata ada sebuah ,mata kalung salib cakep, antik berwarna merah yang benar-benar menarik perhatian. Mata kalung itu cocok banget untuk mama karena mama punya kebaya dengan warna senada. Nyatanya mata kalung itu mahal banget karena salibnya terbuat dari batu rubi.

Pemilik toko yang orang Palestina itu; namanya Dajani menawarkannnya dengan harga diskon tapi itu pun tetap tidak terjangkau uangku. Dia menatapku nggak percaya karena harga itu menurutnya sudah sangat murah dan termasuk harga lokal bukan lagi harga untuk turis. Tapi aku benaran nggak sanggup beli. Jadi aku pura-pura sibuk membantu teman yang lain yang juga lagi belanja di toko itu.

“Kau benar-benar ingin rubi ini ? “tanya Dajani lagi.
Wajahku memerah.
“Baiklah harganya kukurangi menjadi setengah harga. Itu aku tidak ambil untung lagi. Percayalah.” Dajani menimbang lagi batu rubi itu. “Aku sudah rugi ini. Tapi tak apalah.”

Wajahku makin merah. Aku takut Dajani yang tinggi, besar dan hitam itu akan melemparku dari tokonya karena untuk setengah harga yang dikatakannya saja aku nggak punya. Sebelumnya, aku diusir dari sebuah toko lain hanya karena menawar sebuah sepatu kulit ih…ngeri.

“Maaf, aku benaran nggak punya duit sebanyak itu.”
Dajani menatap dalam, menghela nafas panjang, “Untuk siapa mata kalung rubi ini nantinya?”
“Mamaku,”balasku nyaris nggak terdengar. Mataku telah memanas siap untuk menangis. Aku begitu sedihnya karena tidak mampu membelikan sesuatu yang sebenarnya sudah sangat murah. Aku merasa miskin sekali.

Dajani mungkin melihat ekspresiku. Dia mengambil lagi mata kalung itu.
“Kau yakin mau yang ini saja?” Dajani menarik tanganku ke etalase lainnya dimana banyak mata kalung yang lebih yang besar. Sesaat aku bingung. Ini orang tau nggak sih kalo aku benaran nggak punya uang. La wong yang kecil aja aku nggak mampu beli, ini kok dia nawarin yang besar. Gile si arab ini.

“Berapa uang yang kau punya?”
“35 dólar” Dan Dajani memberikan mata kalung itu padaku seharga 35 dólar plus bonus aku bisa memilih apa saja yang kumau di sepanjang etalese yang berisi ukiran dari kayu. Aku terbelalak nggak percaya dan memilih satu kalung salib dengan ukirannya yang istimewa. Aku begitu bahagia tapi Dajani terlihat lebih bahagia. Matanya bercahaya.

“Aku boleh memelukmu?”tanyaku malu-malu.
Dajani menghampiriku, memelukku dan bilang, “Aku selalu suka orang Indonesia. Mereka ramah dan suka belanja hahahaha,”

Aku tertawa lebih keras dan keluar dengan gagah dari toko itu. Bukankah aku telah menjadi sangat kaya

Comments

Popular posts from this blog

Kepada rekan sevisi (cont: ayo donasi ke Israel)

Medan, 08 September 2008 Kepada : Teman sevisi Salam kegerakan, Nama saya Novita Sianipar. Panggil saya Vita. Saat ini saya mendapat undangan untuk mengikuti konferensi internasional (All Nations Convocation Jerusalem/ ANCJ) di Israel mulai tanggal 21 September hingga 13 Oktober 2008. Saya memperoleh undangan ini dari rekan saya Miss X (maaf nama dirahasiakan), yang juga volunteer di JHOPFAN (Jerusalem House of Prayer for All Nations) di Israel. Dia merupakan staff disana pada konferensi sebelumnya. Beliau merekomendasikan nama saya sebagai salah satu volunteer untuk kawasan Asia. Saya merupakan satu-satunya volunteer asal Indonesia yang bakal bertugas di konferensi itu. Tugas saya dalam acara tersebut adalah menyambut para delegasi dari seluruh dunia khususnya dari Asia dan memfasilitasi kebutuhan mereka dalam acara tersebut. Selain itu saya mendapat tambahan tugas dibagian publikasi dan media. Adalah penting jika Indonesia mengirimkan volunteer perwakilannya di ANCJ di Israel. Saat i...

Masih cemas

Aku berusaha untuk konsentrasi menyelesaikan essay tapi pikiran selalu saja berlari ingin pulang dan memeluk mama. Seperti apapun yang kuupayakan, tetap saja aku nggak bisa menghalau rasa cemas ini. Aku takut...........

Berani mencinta berani disakiti

Benci dan kemarahan hanyalah dua komponen yang menyerang ganas kepada mereka yang dipercaya namun merusak kepercayaan itu. Benci yang kata orang benar-benar cinta sebenarnya menunjukkan defenisi yang benar bahwa benci hanya bisa dilampiaskan  kepada orang yang benar-benar kita cintai haha. Kemarin aku menonton sebuah FTV, Si tokoh wanita bilang, "Aku tidak ingin disakiti, makanya aku tidak ingin mencintainya. " Lantas, si tokoh pria mengatakan, "Kalau kau berani mencintai, kau sedang memberi peluang untuk disakiti." Cinta dan rasa sakit hati nampaknya memang satu paket. Itulah sebabnya kitab Amsal juga menuliskannya dengan jelas bahwa orang yang paling berpeluang menyakitimu adalah orang yang paling kamu cinta dan percayai. Jadi jika memang satu paket, tentu kalimat bijak yang bisa dibentuk ialah, berani mencinta berani disakiti hahahahaha..Mengerikan.